Tapi kebahagiaan itu ternyata cuma sementara. Sebulan kemudian, Mpok Jumi menerima surat dari petugas pajak. Kali ini bukan soal pajak udara, melainkan pajak popularitas.Â
Karena dianggap figur publik, ia kini harus membayar pajak tambahan atas kenaikan omsetnya.
"Ya ampun, napas gue kena pajak, nasi uduk gue kena pajak, sekarang gue sendiri juga kena pajak! Hidup ini kenapa jadi kayak permainan monopoli, sih?" keluh Mpok Jumi sambil memandangi tumpukan tagihan.
Meski begitu, Mpok Jumi tetap bertahan. Di depan warung, ia duduk santai sambil mengelus dagu, berpikir keras bagaimana caranya mengakali pajak berikutnya.Â
"Yang penting, nasi uduk gue tetap laku. Hiduplah nasi uduk, tanpa pajak!" katanya sambil mengaduk sambal.Â
Dan begitulah, di Kampung Ketilang Cemplung, perjuangan Mpok Jumi terus berlanjut di tengah badai pajak dan kebijakan ajaib negeri Tembokto.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H