Di sebuah negeri antah-berantah bernama Tembokto, hiduplah para rakyatnya yang gigih, kreatif, dan luar biasa sabar. Terkadang kesabaran mereka masuk ke level antariksa, sangat tidak membumi.
Negara ini terkenal dengan slogan uniknya: "Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rekening pejabat." Namun, ketenangan Tembokto terusik oleh kabar terbaru yang menghantam lebih keras daripada gempa politik: kenaikan pajak.
"Pajak apa lagi ini?!" seru Pak Wagyuman, seorang tukang tambal ban. "Baru kemarin kita bayar pajak udara, sekarang ada pajak senyum? Kalau begini terus, senyum saya lama-lama bisa jadi nangis, nih!"
Kenaikan pajak kali ini memang luar biasa inovatif. Pemerintah Tembokto mengumumkan sejumlah pajak baru yang berhasil memecahkan rekor absurd.Â
Selain pajak senyum, ada pajak garuk kepala (bagi yang bingung bayar pajak), pajak ketawa (karena dianggap pengalihan isu), hingga pajak sisa makanan.
"Katanya biar rakyat tidak membuang-buang makanan," ujar Mpok Jumi, penjual nasi uduk yang kini mengeluh karena pelanggan enggan membeli lauk tambahan. "Kalau tahu gini, mending saya jual uduk kosong aja, siapa tau pajaknya nggak kena lauk."
Namun, yang paling menarik perhatian rakyat adalah kehidupan para pejabat Tembokto. Di saat rakyat berkutat mencari cara agar tidak bangkrut, para pejabat terlihat semakin makmur.Â
Media sosial dibanjiri unggahan foto para pejabat dan keluarganya yang asyik berpelesir di luar negeri.
"Ini Pak Menteri Pajak kita lagi di Swiss, selfie sama sapi!" ujar Pak Wagyuman sambil menunjuk layar ponselnya kepada teman-temannya di warung kopi.
"Yang ini istrinya Pak Menteri Perabot Negara," sambung Mpok Jumi. "Lihat tuh, belanja tas di Paris. Harganya setara biaya sekolah anak saya tiga generasi!"
Di tengah protes dan kericuhan, pemerintah menggelar konferensi pers. Menteri Pajak, yang dikenal karena kebiasaannya berbicara dalam kalimat penuh metafora, naik podium.
"Rakyat Tembokto tercinta," ucapnya dengan senyum lebar. "Kenaikan pajak ini demi pembangunan kita bersama. Seperti pepatah, 'Kalau tak mau berkorban, jangan harap bisa makan korma di gurun.'"
Sayangnya, rakyat tidak puas dengan pepatah. Demo besar-besaran pun pecah. Dari segala penjuru negeri, rakyat berkumpul di alun-alun Tembokto membawa spanduk bertuliskan, "Kembalikan Pajak Kami!" dan "Kami Bukan ATM Berjalan!"
Namun, di tengah amarah massa, sebuah ironi terungkap. Seorang wartawan investigasi membongkar laporan keuangan pemerintah yang menunjukkan bahwa 70% pajak ternyata digunakan untuk renovasi rumah dinas pejabat.Â
Sisanya? Untuk membeli kursi pijat listrik bagi semua anggota parlemen.
Berita ini menjadi puncak kerusuhan. Tapi pemerintah punya cara unik menenangkan rakyat: menggelar acara dangdutan besar-besaran di alun-alun.
"Rakyat tidak butuh dangdutan! Kami butuh keadilan!" teriak salah satu demonstran. Namun, tak lama kemudian, suara musik mulai menggema.
"Goyang Tembokto! Jangan protes, kita goyang terus!"
Anehnya, banyak yang akhirnya ikut berjoget. Protes perlahan berubah menjadi pesta. Rakyat seolah lupa tujuan awal mereka.
Namun, pesta itu berakhir tragis. Lampu-lampu panggung tiba-tiba mati. Sebagai seorang tokoh rakyat, Pak Wagyuman, naik ke atas panggung dengan pengeras suara.
"Saudara-saudara," ujarnya lirih. "Kita ini seperti kambing yang diajak pesta sebelum disembelih. Sampai kapan kita mau terus begini?"
Suasana hening. Semua mata tertuju padanya. Tapi sebelum Pak Wagyuman melanjutkan, ia ditangkap oleh aparat keamanan dengan tuduhan menyebarkan provokasi.
Keesokan harinya, media pemerintah menulis berita: "Demo Berakhir Damai, Rakyat Bahagia dengan Kenaikan Pajak."
Dan begitulah, di negeri Tembokto, ironi terus berjalan. Pajak tetap naik, rakyat tetap sabar, dan para pejabat terus berpelesir. Akhirnya, hanya satu pelajaran yang tersisa: di Tembokto, hidup memang mahal, tapi ironi gratis.
Kasihan, Pak Wagyuman dan Mpok Jumi, serta tokoh vokal lainnya eksodus dari Negeri Konangan ke Tembokto hanya demi menghindari pajak, nyatanya malah bertemu aneka pajak di luar nurul yang sungguh menggila.
"Enak Zamanku Tooo..."
Pak Wagyuman hanya tersenyum miris dan melempar sandal jepitnya ketika melihat poster tokoh pembangunan di negeri Tembokto.
"Semprul! Malah ngeledek,"
Sabar ya pak...sabar..begitu juga kalian, karena selanjutnya akan ada serial semprul mengenai uniknya negeri Tembokto ini.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H