"Rakyat Tembokto tercinta," ucapnya dengan senyum lebar. "Kenaikan pajak ini demi pembangunan kita bersama. Seperti pepatah, 'Kalau tak mau berkorban, jangan harap bisa makan korma di gurun.'"
Sayangnya, rakyat tidak puas dengan pepatah. Demo besar-besaran pun pecah. Dari segala penjuru negeri, rakyat berkumpul di alun-alun Tembokto membawa spanduk bertuliskan, "Kembalikan Pajak Kami!" dan "Kami Bukan ATM Berjalan!"
Namun, di tengah amarah massa, sebuah ironi terungkap. Seorang wartawan investigasi membongkar laporan keuangan pemerintah yang menunjukkan bahwa 70% pajak ternyata digunakan untuk renovasi rumah dinas pejabat.Â
Sisanya? Untuk membeli kursi pijat listrik bagi semua anggota parlemen.
Berita ini menjadi puncak kerusuhan. Tapi pemerintah punya cara unik menenangkan rakyat: menggelar acara dangdutan besar-besaran di alun-alun.
"Rakyat tidak butuh dangdutan! Kami butuh keadilan!" teriak salah satu demonstran. Namun, tak lama kemudian, suara musik mulai menggema.
"Goyang Tembokto! Jangan protes, kita goyang terus!"
Anehnya, banyak yang akhirnya ikut berjoget. Protes perlahan berubah menjadi pesta. Rakyat seolah lupa tujuan awal mereka.
Namun, pesta itu berakhir tragis. Lampu-lampu panggung tiba-tiba mati. Sebagai seorang tokoh rakyat, Pak Wagyuman, naik ke atas panggung dengan pengeras suara.
"Saudara-saudara," ujarnya lirih. "Kita ini seperti kambing yang diajak pesta sebelum disembelih. Sampai kapan kita mau terus begini?"
Suasana hening. Semua mata tertuju padanya. Tapi sebelum Pak Wagyuman melanjutkan, ia ditangkap oleh aparat keamanan dengan tuduhan menyebarkan provokasi.