Proses demokrasi ini tentu sangat penting untuk menunjuk siapa yang kelak akan memimpin dan menjalankan amanah rakyat, yang notabene (jika itu pun disadari), merupakan suara Tuhan.
Suara Tuhan mewujud lewat mereka agar senantiasa bisa mengatur semesta yang dipimpinnya dan menyejahterakan rakyatnya.
Namun, di dalam praktiknya, banyak fenomena "kemanusiaan" terjadi, dimana kerap terjadi penyelewengan berupa Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) yang pada akhirnya justru menyengsarakan rakyat.
Dan fenomena lainnya kerap terjadi aksi-aksi fanatisme dari para pendukung yang kemudian diklaim menjadi masyarakat, sehingga ada anggapan rakyat terpecah.
Kondisi sebenarnya, jika disadari, bukannya rakyat yang terpecah belah, tapi mereka yang fanatik itulah melakukan aksi "berkoar-koar" di media sosial.
Padahal di era sekarang ini, media sosial sudah dianggap sebagai sumber informasi valid dan tershahih, sehingga apapun yang tersaji di sana adalah benar!
Masyarakat yang sesungguhnya tidak benar-benar masuk ke dalam kancah perseteruan pun jadi terpengaruh pola pikirnya sehingga mereka jadi ikut-ikutan.
Mereka lupa bahwa tugasnya hanyalah memilih calon pemimpin, bukan menjadi pengikut fanatik para calon pemimpin tersebut.
Hingga tak heran ketika pola pikir mereka sudah tergeser sampai demikian, gesekan pun terjadi, minimal terciptalah fenomena baper berjamaah.
Mulai dari fenomena baperan dari peristiwa 212 hingga fenomena ngambeknya "anak abah" alias para pendukung fanatik Anies Baswedan.
Fanatisme  merupakan suatu sikap keyakinan yang tidak goyah pada suatu ideologi atau tujuan tertentu, dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan mental individu.Â