Mulai dari takutnya kalah bersaing secara global, hingga mengungkapkan alasan bahwa film merupakan produk seni sehingga tidak bisa distandarkan.
Menurut mereka, seni itu adalah berkaitan dengan selera dan wawasan seseorang, sehingga diasumsikan itu tak mungkin bisa disamakan orang per orangnya.
Benarkah? relatif. Tapi jika saya boleh berargumen, pendapat itu tidak tepat.
Begini argumen saya, mari kita ambil contoh saat memilih hingga akhirnya memakan sesuatu yang dijual di pasaran.
Tentu tidak semua orang suka gado-gado, ada yang suka mie ayam, bakso, nasi goreng, dan lain-lain. Inilah selera, tentu hak individu yang ingin menyenangi sesuatu tak bisa dipaksakan sama.
Namun, untuk membuat gado-gado, mie ayam, bakso, nasi goreng yang enak, tentu ada resepnya bukan?
Resep standar gado-gado akan sama dimanapun, jika ada yang berbeda, itu inovasi, sah-sah saja. Tapi akan aneh rasanya jika makanan bernama gado-gado kemudian di kasih kuah tomyam bukan?
Dua standar berbeda terjadi dalam proses pemasakan si gado-gado dan kuah tomyam. Jika ingin dipaksakan maka ia bisa berubah bentuk serta nama. Yang jelas, secara bentuk standarnya sudah hilang.
Jika film dianggap sebagai sebuah seni dan tidak bisa distandarisasikan serta beberapa penjelasan tadi belum terjelaskan, mari kita tinjau dari sisi perundang-undangan. Mari kita buka Undang-undang No 33 tahun 2009 tentang Perfilman berikut ini:
Bab 1 Pasal 1 UU Perfilman no 33/2009: "Film  adalah  karya  seni  budaya yang  merupakan pranata  sosial  dan  media  komunikasi  massa  yang dibuat  berdasarkan  kaidah  sinematografi  dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan."
Bab 1 Pasal 4 UU Perfilman no 33/2009: "Perfilman mempunyai fungsi: a.  budaya; b.  pendidikan; c.  hiburan;  d.  informasi;  e.  pendorong karya kreatif; dan  f.  ekonomi."