Pertanyaan itu tak terjawab secara gamblang. Karena standar unik yang dipakai juga berdasarkan selera dan sudut pandangnya masing-masing.
Atau yang paling saya sebal adalah ketika anggapan selera pasar berdasarkan rating absurd pun dijadikan standarnya.
Hingga kemudian terjadilah yang terlihat pada kenyataannya setelah film-film tersebut tayang di televisi maupun di bioskop.
Sudahlah, tentu akan banyak argumen tentang ini yang jika dibahas mungkin hanya bisa dilakukan lewat acara seminar.
Namun, saya memiliki satu harapan dan semakin bersemangat saat beberapa tahun lalu, tersiar kabar bahwa para pekerja film akan distandardisasikan.Â
Dan kemudian dibuatlah Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) untuk para pekerja film ini.
SKKNI merupakan rumusan kemampuan kerja yang mencakup pengetahuan, keterampilan, sikap kerja, dan/atau keahlian yang relevan dengan tugas dan syarat jabatan.
SKKNI memiliki beberapa kegunaan, di antaranya:
- Sebagai acuan dalam merancang dan mengimplementasikan pelatihan kerja
- Sebagai acuan dalam melakukan penilaian keluaran pelatihan
- Sebagai acuan dalam menilai tingkat keterampilan dan keahlian seseorang
- Sebagai acuan dalam menyusun uraian pekerjaan
- Sebagai acuan dalam menyusun dan mengembangkan program pelatihan dan sumber daya manusia
- Sebagai acuan dalam menilai unjuk kerja seseorang
- Sebagai acuan dalam sertifikasi profesi di tempat kerja
SKKNI disusun menggunakan model Regional Model Competency Standard (RMCS) yang dikembangkan oleh International Labor Organization (ILO).
Jadi jelas sudah jika Anda dianggap kompeten dengan mendapatkan sebuah sertifikat daripadanya, Anda memang benar-benar kompeten karena sesuai dengan standar internasional.
Lantas, dalam sebuah diskusi kecil dengan beberapa sineas kala itu, seperti ada "ketakutan" tersendiri dengan adanya sertifikasi profesi ini.