Mohon tunggu...
Dimas Jayadinekat
Dimas Jayadinekat Mohon Tunggu... Freelancer - Author, Freelance Script Writer, Public Speaker, Enterpreneur Coach

Penulis buku Motivasi Rahasia NEKAT (2012), Penulis Skenario lepas di TVRI dan beberapa rumah produksi (2013-kini), Penulis Rubrik Ketoprak Politik di Tabloid OPOSISI dan Harian TERBIT (2011-2013), Content Creator di Bondowoso Network, Pembicara publik untuk kajian materi Film, Skenario, Motivasi, Kewirausahaan, founder Newbie Film Centre

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Fenomena Self Diagnosis di Media Sosial dan Dampaknya pada Kesehatan Mental

1 November 2024   20:05 Diperbarui: 1 November 2024   20:22 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Thirdman: https://www.pexels.com/photo/a-person-in-white-long-sleeves-checking-up-the-back-of-the-patient-using-stethoscope-5327586/ 

Dalam keseharian kita mungkin pernah melakukan self diagnosis ini, baik secara sengaja maupun tanpa disadari.

Self diagnosis adalah tindakan mendiagnosis diri sendiri mengenai penyakit atau gangguan kesehatan tanpa berkonsultasi dengan tenaga medis, seperti dokter, psikolog, atau psikiater.

"Sorry, gue kayaknya lagi kena mental health deh. Kayaknya bipolar nih."

"Perut gue sakit nih, asam lambung kumat kayaknya."

Dan lain sebagainya.

Akrab dengan kalimat-kalimat sejenis itu, atau mungkin pernyataan seperti itu malah keluar dari mulut Anda sendiri?

Di era digital ini, informasi tentang kesehatan fisik dan mental begitu mudah diakses. Media sosial seperti TikTok, Instagram, Facebook dan Twitter dipenuhi dengan konten yang membahas isu-isu kesehatan tersebut. 

Sayangnya, tren ini menciptakan sebuah fenomena yang kemudian kita kenal sebagai self diagnosis yang maknanya sudah dibahas di awal artikel tadi.

Dan fenomena ini tidak hanya meresahkan, tetapi juga menimbulkan sejumlah dampak yang perlu disoroti. 

Menurut Annisa Poedji Pratiwi, Psikolog dari Pijar Psikologi, di sebuah artikel di laman psychology.binus.ac.id, bahwa self diagnosis ini justru bisa berakibat pada rasa khawatir yang berlebihan, salah penanganan, dan bahkan kondisi kesehatan yang makin parah.

Hal ini didukung dengan fakta dan data yang diperoleh dari hasil riset Millenial Mindset, bahwa sebanyak 37% gen Y yang mengikuti survey telah melakukan diagnosa diri terkait masalah Kesehatan, terutama kesehatan mental mereka. 

Padahal sebenarnya mereka tidak memiliki dan melihat informasi kesehatan tersebut, dan celakanya hal inilah yang justru menyebabkan rasa khawatir atas Kesehatan mental mereka.

Mengapa self diagnosis menjadi sedemikian populernya, dan apa saja risiko yang mungkin ditimbulkannya? Berikut penjelasannya.

1. Mengapa Self Diagnosis Begitu Marak di Media Sosial?

Kehadiran influencer dan konten kreator yang berbagi pengalaman pribadi tentang kesehatan mental sering kali membawa dampak positif. 

Mereka membantu meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan mental dan memberikan ruang aman bagi orang-orang yang mengalami perasaan serupa. Namun, kemudahan ini juga menghadirkan risiko self diagnosis, karena:

  • Informasi yang Tidak Selalu Akurat: Tidak semua konten kesehatan mental yang beredar didasarkan pada bukti ilmiah atau panduan dari para ahli.
  • Pengaruh Algoritma: Media sosial menggunakan algoritma yang membuat orang terus-menerus terpapar konten serupa, menciptakan ilusi bahwa mereka mengalami kondisi yang sama seperti yang mereka lihat.
  • Rasa Koneksi dan Validasi: Banyak pengguna media sosial merasa bahwa mereka menemukan jawaban atas masalah mereka dan merasa divalidasi oleh pengalaman orang lain.

2. Dampak Negatif Self Diagnosis

Meskipun kesadaran diri terutama tentang kesehatan mental penting, self diagnosis dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, termasuk:

  • Salah Diagnosa dan Penanganan: Self diagnosis dapat menyebabkan seseorang salah mengidentifikasi kondisi mental yang mereka alami. Misalnya, seseorang yang merasa gelisah mungkin berpikir bahwa mereka menderita gangguan kecemasan berat, padahal mungkin hanya mengalami stres biasa yang dapat dikelola dengan dukungan yang lebih ringan.
  • Mengabaikan Penanganan Profesional: Orang yang melakukan self-diagnosis mungkin enggan mencari bantuan profesional karena merasa telah menemukan jawaban mereka sendiri. Hal ini bisa memperburuk kondisi mereka atau menyebabkan perawatan yang tidak efektif.
  • Munculnya Efek Nocebo: Ketika seseorang percaya bahwa mereka memiliki gangguan mental tertentu, mereka mungkin mulai merasakan gejala-gejala yang sebenarnya tidak ada (efek psikologis yang dikenal sebagai efek nocebo).

3. Kapan Informasi di Media Sosial Bermanfaat?

Meskipun memiliki risiko, media sosial juga dapat berperan positif dalam meningkatkan literasi kesehatan mental. Beberapa manfaat yang bisa diperoleh adalah:

  • Meningkatkan Kesadaran dan Empati: Diskusi terbuka tentang kesehatan dapat mengurangi stigma dan membuat orang lebih sadar akan pentingnya merawat kesehatan fisik dan mental mereka.
  • Membantu Orang Agar Merasa Tidak Sendirian: Melihat orang lain berbicara tentang pengalaman mereka bisa memberikan rasa koneksi, yang sangat penting untuk kesehatan emosional.

Namun, penting untuk memanfaatkan informasi tersebut dengan bijak. Jika merasa memiliki gejala yang signifikan, langkah terbaik tetaplah berkonsultasi dengan tenaga kesehatan profesional .

4. Tips Menghindari Self Diagnosis Berlebihan

  • Cek Sumber Informasi: Pastikan konten kesehatan yang Anda terima berasal dari sumber yang kredibel, seperti dokter berlisensi atau organisasi kesehatan terkemuka.
  • Jangan Mudah Percaya pada Generalisasi: Ingatlah bahwa setiap individu unik. Gejala yang sama mungkin memiliki penyebab yang berbeda untuk setiap orang.
  • Diskusikan dengan Ahli: Jika Anda merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan kesehatan fisik ataupun mental Anda, konsultasikan dengan dokter, psikolog atau psikiater yang dapat memberikan diagnosis yang tepat dan penanganan yang sesuai.

Berdasarkan pengetahuan di atas ada baiknya mulai saat ini kita lebih berhati-hati dalam melakukan self diaognosis agar tidak merugikan diri sendiri di kemudian hari.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun