Di dalam artikel tersebut tertulis pendapat dari Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Soedirman Hibnu Nugroho, bahwa fenomena "no viral no justice" juga karena kecepatan informasi di media sosial dan media massa.Â
Keadaan tersebut ada kalanya membuat pemerintah cenderung menjadi khawatir untuk mempertahankan sistem atau kebijakan yang menimbulkan polemik apabila sudah viral.
"No viral no justice juga merupakan kritik untuk penegak hukum untuk lebih serius dalam menangani kasus, semakin banyak penanganan yang benar maka akan semakin berkurang tren "no viral no justice"," ungkap Hibnu, Sabtu (24/8/2024) di Purwokerto.
Meski fenomena "no viral no justice" terkesan memaksa pemerintah untuk bekerja lebih tangkas dan cepat dalam penegakan hukum, Hibnu menilai  fenomena ini jangan dianggap menakutkan dan harus dihindari.Â
Bahkan, di sini media massa dapat menunjukkan perannya sebagai salah satu tiang dari penegakan hukum.Â
Memang di dalam aksi selanjutnya dari fenomena tersebut, media lewat para wartawannya dengan serta merta semakin membuat sebuah kasus viral menjadi sangat "ramai".
Apalagi ketika jurnalis televisi sudah turun tangan, di televisi bisa dibuat sesi dan tayangan khusus menguliti serta membedah kasus tersebut sedalam-dalamnya.
Penggalian informasi dari para jurnalis itu pun rasanya jauh lebih hebat dari penyelidikan suatu kasus yang seringkali sarat pada sebuah kepentingan.
Berita viral dan aksi jurnalis sekarang ini menjadi hiburan mengasyikan tersendiri dari para netizen +62 yang terkenal garang jika sudah menuliskan komentar-komentarnya.
Ibarat pisau yang bermata dua, fenomena penegakan hukum yang amburadul saat ini terdorong oleh gerakan organik netizen di dalam mendukung sebuah pengungkapan kasus.
Sebut saja untuk kasus-kasus hukum terbaru seperti, kasus Vina Cirebon, akibat viral dan diramaikan terus, kini kasusnya tinggal menunggu keputusan PK. Apakah pada akhirnya ketujuh narapidana akan terbebas, kita nantikan saja.