Saya mengenal film pendek di tahun 2000-an dan agak sedikit kaget dengan gambaran potensi besar yang terkandung di dalamnya.
Di masa itu saya mulai jatuh cinta dan membayangkan film pendek yang digerakkan oleh tokoh-tokoh di Komunitas Film Independen (konfiden) akan menjadi sesuatu yang luar biasa pada suatu hari.
Dan gulirannya terus bergerak serta peluangnya ditangkap oleh SCTV yang kemudian mengadakan Festival Film Video Independen Indonesia (FFVII) di tahun 2002.
Di tahun itu dengan modal nekat, saya bersama teman-teman di sekitar rumah mendaftar sebagai peserta dan sempat lolos di tahapan awal lomba sehingga kemudian kami ikut di undang dalam rangkaian acaranya di Hotel Kartika Chandra Jakarta Selatan.
Dari sanalah saya belajar mengenai produksi film pendek secara otodidak, setelah sebelumnya berkutat sebagai pemain sinetron anak-anak di TVRI sejak tahun 1984-1995.Â
Hanya bermodal dengan pernah menjadi pemain, saya mulai menulis skenario dan menjadi sutradaranya, sambil mengingat segala hal tentang produksi film ketika disutradarai hingga film kami akhirnya selesai digarap.
Setelah itu di dalam berbagai kesempatan, saya di undang oleh kelompok-kelompok kecil, baik di sekolah-sekolah, kampus, atau bahkan di masyarakat seperti majelis taklim dan Karang Taruna untuk berbagi ilmu mengenai produksi film pendek.Â
Hingga kemudian saya melihat adanya potensi besar film pendek di negeri ini dari hulu ke hilirnya yang belum tergarap maksimal.
Bahkan di periode sebelum itu saat masih sangat aktif membuat film, seingat saya dalam setahun hampir sepuluh film pendek tercipta, saya bermimpi untuk menciptakan jaringan distribusi film pendek.
Dalam perjalanan mewujudkan impian tersebut, saya semakin memahami apa saja yang dibutuhkan serta harus dilakukan untuk membuat sebuah produksi film pendek yang ideal. Dan tentu juga bagaimana pola distribusinya secara independen.
Berkat dorongan kawan yang mengirim pesan di akun saya ini, saya berencana mulai dari artikel ini, akan mengupas tentang film pendek dari hulu ke hilir, dari pra produksi hingga ke distribusinya.
Untuk di ujungnya, yaitu distribusi, dalam wujud jaringan distribusi dan pemasaran film pendek, ide besar saya terwakilkan oleh platform digital khusus film pendek lokalfilm.id, di platform inilah Anda bisa melihat potensi besar tersebut.Â
Anda bisa membaca artikel yang saya tulis tentang lokalfilm.id  di sini.
Secara teknis, dilansir dari howtoproducemovie.com, film pendek berdurasi 40 menit atau kurang, karena durasi ini memastikan bahwa film Anda bukan kategori film layar bioskop, yang biasanya berdurasi antara 60 menit - 120 menit (bahkan bisa lebih).
Film pendek sendiri awalnya dianggap sebagai film eksperimental atau film yang dibuat oleh mahasiswa sekolah film dalam rangka praktik produksi. Setidaknya, itu yang dulu saya ketahui.
Mahasiswa IKJ, sebagai satu-satunya sekolah film saat itu, sudah tidak asing lagi dengan film pendek karena inilah media mereka belajar serta mendalami ilmu yang diberikan oleh para dosen di kampusnya.
Lucunya, saya ketika itu pernah diduga sebagai mahasiswa IKJ saat menyewa studio editing setelah syuting untung mengikuti ajang festival di SCTV tersebut.
Dalam proses learning by doing itu saya kian memahami apa itu film pendek dan tingkat kesulitan di dalam membuatnya.
"Film pendek bukanlah film panjang yang dipendekin," ungkap Riri Reza ketika saya hadir di undangan seminar kegiatan FFVII 2002 di Hotel Kartika Chandra.
Film pendek sejak awal prosesnya memang sudah harus dikonsepkan sebagai film pendek, layaknya cerpen, yang tentu berbeda proses hingga alur ceritanya dengan novel.
Dalam membuat cerita untuk film pendek, kita harus sudah membuat plot yang "to the point" dan hanya berbicara tentang satu issue atau sudut pandang cerita.
Banyak pemula ketika itu, termasuk saya, ketika membuat film pendek terlalu banyak ingin bercerita dan memaksakan ceritanya agar segera habis, padahal cerita film tersebut masih menggantung.
Dianggapnya itu sebagai sebuah plot twist atau cliffhanger, padahal itu semua dilakukan karena batasan durasi film yang sudah harus selesai.
Cliffhanger sendiri merupakan perangkat plot dalam fiksi yang menampilkan karakter utama dalam dilema yang sulit atau genting di akhir episode atau film, sehingga terasa menggantung dan diharapkan dapat mendorong penonton untuk kembali melihat bagaimana karakter menyelesaikan dilema tersebut.
Di dalam perjalanan "belajar" membuat film selama bertahun-tahun dengan langsung praktik, membuat saya paham bahwa membuat twist dan cliffhanger itu ada tekniknya, bukan asal-asalan.
Meski pada kenyataannya, sejak dulu dan bahkan kini, jika bicara ide, banyak pembuat film pendek yang berhasil membuat cerita pendek menarik.
Jika dari sisi teknis produksinya, terutama penggunaan peralatan, di era pertama kali saya memulai sangatlah kentara. Hal itu bertolak belakang dengan kondisi sekarang.
Teknologi mempermudah orang untuk membuat film. Mulai dari perangkat kameranya yang bisa menggunakan telepon seluler, demikian pula dalam proses pasca produksinya, semua bisa menggunakan aplikasi yang banyak tersedia di playstore.
Seharusnya, dengan perkembangan teknologi peralatan, cerita yang dihasilkan juga harus mengimbanginya sehingga film bisa semakin dinikmati sebagai suatu hiburan menarik.
Dan semua itu sangat memungkinkan, apalagi kehadiran film pendek ini sangat bisa menjadi pilihan karena durasinya singkat.
Untuk mereka yang berkantong pas-pasan, atau tak punya cukup waktu dalam menikmati film padahal sangat hobi menonton, film pendek tentu akan menjadi hiburan utama mereka.
Pergeseran ke era digital ini membuat apa yang dulu terasa musthil bagi saya, kini semakin menjadi sangat realistis.
Film pendek di masa sekarang seharusnya bukan untuk coba-coba lagi, tapi sudah bisa digulirkan dalam sebuah "industri" nya sendiri.***
ÂBaca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H