Dianggapnya itu sebagai sebuah plot twist atau cliffhanger, padahal itu semua dilakukan karena batasan durasi film yang sudah harus selesai.
Cliffhanger sendiri merupakan perangkat plot dalam fiksi yang menampilkan karakter utama dalam dilema yang sulit atau genting di akhir episode atau film, sehingga terasa menggantung dan diharapkan dapat mendorong penonton untuk kembali melihat bagaimana karakter menyelesaikan dilema tersebut.
Di dalam perjalanan "belajar" membuat film selama bertahun-tahun dengan langsung praktik, membuat saya paham bahwa membuat twist dan cliffhanger itu ada tekniknya, bukan asal-asalan.
Meski pada kenyataannya, sejak dulu dan bahkan kini, jika bicara ide, banyak pembuat film pendek yang berhasil membuat cerita pendek menarik.
Jika dari sisi teknis produksinya, terutama penggunaan peralatan, di era pertama kali saya memulai sangatlah kentara. Hal itu bertolak belakang dengan kondisi sekarang.
Teknologi mempermudah orang untuk membuat film. Mulai dari perangkat kameranya yang bisa menggunakan telepon seluler, demikian pula dalam proses pasca produksinya, semua bisa menggunakan aplikasi yang banyak tersedia di playstore.
Seharusnya, dengan perkembangan teknologi peralatan, cerita yang dihasilkan juga harus mengimbanginya sehingga film bisa semakin dinikmati sebagai suatu hiburan menarik.
Dan semua itu sangat memungkinkan, apalagi kehadiran film pendek ini sangat bisa menjadi pilihan karena durasinya singkat.
Untuk mereka yang berkantong pas-pasan, atau tak punya cukup waktu dalam menikmati film padahal sangat hobi menonton, film pendek tentu akan menjadi hiburan utama mereka.
Pergeseran ke era digital ini membuat apa yang dulu terasa musthil bagi saya, kini semakin menjadi sangat realistis.
Film pendek di masa sekarang seharusnya bukan untuk coba-coba lagi, tapi sudah bisa digulirkan dalam sebuah "industri" nya sendiri.***
Â