Mohon tunggu...
Dimas Jayadinekat
Dimas Jayadinekat Mohon Tunggu... Freelancer - Author, Freelance Script Writer, Public Speaker, Enterpreneur Coach

Penulis buku Motivasi Rahasia NEKAT (2012), Penulis Skenario lepas di TVRI dan beberapa rumah produksi (2013-kini), Penulis Rubrik Ketoprak Politik di Tabloid OPOSISI dan Harian TERBIT (2011-2013), Content Creator di Bondowoso Network, Pembicara publik untuk kajian materi Film, Skenario, Motivasi, Kewirausahaan, founder Newbie Film Centre

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Debat Pilkada Jakarta 2024, Sejauh Mana Budaya Betawi akan Mereka Kembangkan?

7 Oktober 2024   06:23 Diperbarui: 7 Oktober 2024   12:31 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi KPU Provinsi DKI Jakarta

Debat perdana Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta 2024 telah berlangsung malam tadi, Minggu (6/10/2024) pukul 19.00 WIB, di grand ballroom Jakarta International Expo (JIExpo) Convention Centre and Theatre, Kemayoran, Jakarta Pusat.

Tiga kandidat hadir melakukan "diskusi" dalam acara debat pilkada 2024 tersebut dan semuanya tampil normatif, kalem, damai, tak ada kesan "saling serang" selayaknya acara sejenis yang begitu seru karena biasanya terjadi debat kusir belaka.

Jika saya coba melihat dari beragam sudut pandang, baik secara awam maupun keilmuan, baik ilmu psikologi atau berujung pada pengalaman ketika tampil sebagai pembicara publik, akan terlihatlah siapa yang paling siap dan sempurna penampilannya.

Mungkin Anda punya penilaian berbeda, namun jika saya menilainya secara obyektif dari sudut pandang sendiri, Ridwan Kamil dan Rano "Doel" Karno yang paling santai serta komunikatif. Bisa jadi karena mereka berpengalaman jadi Gubernur.

Terlihat pula bagaimana RK tampil ngemong ketika Suswono tidak mampu menyelesaikan pantun karena keterbatasan durasi bicara.

Pramono Anung bukan berpenampilan buruk, namun gaya bicaranya sebagai mantan "Ring 1" pemerintah dan kader partai sejati masih terlihat kental. Normatif, diplomatis, dan teoritis, meski tetap ada upaya kuat serta layak untuk menjadi calon Gubernur.

Sementara pasangan Darma Pongkrekun dan Kun Wardhana, sepertinya memang belum terlalu layak menjadi pemimpin rakyat Jakarta, mohon maaf.

Penampilan Doel, mengenai eksistensi kebetawiannya yang kental sudah tak perlu diragukan. Gaya bicara dan dialeknya menunjukkan bahwa dirinya layak disebut intelektual asli Betawi.

Namun di sisi lain, RK juga berusaha meyakinkan masyarakat Jakarta terkhusus warga etnis Betawi yang dianggap sebagai pribumi, bahwa dirinya sangat peduli tentang Jakarta dan khususnya Budaya Betawi.

Terutama saat sebuah pertanyaan dibacakan oleh host mengenai budaya Betawi yang diurainya berdasarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 11 Tahun 2017 tentang Ikon Budaya Betawi.

Menurut Pergub tersebut yang dikategorikan sebagai ikon budaya Betawi adalah Ondel-ondel, Kembang kelapa, Ornamen gigi balang, Baju sadariah, Kebaya kerancang, Batik Betawi, Kerak telor, Bir pletok.

RK saat itu menyampaikan bahwa dirinya jika terpilih nanti akan lebih memperkenalkan kedelapan ikon tersebut, dan saya percaya dengan ia mengelola Bandung serta Jawa Barat, tentu semua itu akan ditampilkan secara lebih kreatif.

Juga ketika mengutip inti dari pembicaraan Rano mengenai makna budaya, yang diuraikannya berdasarkan dari dua istilah Budi dan daya, yaitu dalam konteksnya pola pikir, tampak ia begitu memahami substansi tersebut.

Sementara ditambahkannya pula bahwa apa yang dibahas dengan istilah budaya dalam pembahasan tersebut konteksnya lebih kepada produk budaya, hasil karya dari kita menciptakan kreativitas setelah berolah pikiran. Dan saya sependapat tentang ini.

Jadi jika di dalam makna yang lebih luas, pelestarian budaya Betawi itu bukan hanya terfokus pada produk-produk yang utamanya dijadikan ikon. 

Melainkan harus lebih kepada hal yang esensial lagi, yaitu bagaimana budaya luhur yang dimiliki oleh masyarakat Betawi sejak dahulu.

Misalnya saja, ketika berbicara kehidupan masyarakat Betawi yang kental dengan ajaran Islam ataupun dalam faktanya bahwa di tanah Betawi sudah tercipta asimilasi dan akulturisasi budaya sejak lama.

Mulai dari tarian, kuliner, fesyen, kita akan mendapatkan bahwa ada percampuran banyak produk budaya di sana. Misalnya dari budaya Tiongkok, Arab, Portugis, Belanda, Jawa, Makassar, dan sebagainya.

Maka konsep-konsep yang telah digaungkan bersamaan dengan keluarnya pergub tersebut pada tanggal 5 Februari 2017, memang selayaknya terus ditumbuhkembangkan.

Terutama yang berkaitan dengan penjualan produk-produk budaya berkaitan dengan pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).

Kedelapan ikon tersebut selain bisa memperkenalkan seperti apa budaya masyarakat Betawi tempo dulu, tentu juga berpotensi pada peningkatan finansial, selama didukung sepenuhnya oleh Pemerintahan Daerah di bawah Gubernur kelak.

Saya sangat mendukung, siapapun yang berikhtiar serius dalam rangka memajukan budaya Betawi secara umum maupun khusus, karena kebetulan saya adalah pelaku UMKM dengan produk unggulan Bir Pletok.

Mengenai hal itu, saya pernah sedikit mengupasnya di sini dan di sini.

Mengapa saya menjual Bir Pletok sejak tahun 2016, hal tersebut dapat ditonton di sini: 
Dan juga pernah diliput oleh SCTV serta TVRI secara khusus yang dapat Anda lihat di sini: 
Singkatnya, dari suka duka kami berbisnis Bir Pletok ini, produk keren yang menyehatkan tersebut, masih belum tersebar luas dan dikenal secara luas. Ironis bukan?

Bahan-bahannya mudah di dapat, memiliki fungsi hebat, bahkan Indonesia dijajah juga karena bahan-bahan rempah di dalam kandungan Bir Pletok itu. 

Lantas, mengapa produk se-"seksi" ini belum membudaya seperti produk-produk lain di daerah yang ketika disebutkan spontan teridentifikasi daerahnya. Sebutlah Dodol Garut, Bakpia Pathok, dll.

Di Jakarta baru ada Setu Babakan dan Condet yang diarahkan menjadi pusat kebudayaan Betawi. Namun, menurut saya, itu saja tidak cukup.

Upaya pemerintahan sebelumnya memasukkan cara pembuatan Bir Pletok dalam kurikulum pendidikan Sekolah Dasar patut diapresiasi karena itu sangat membantu kami, banyak dari para orang tua yang akhirnya membeli jadi dibandingkan membeli bahan kemudian dimasak sendiri.

Namun sentra-sentra yang bisa diciptakan untuk mengangkat Bir Pletok maupun ke-7 ikon lainnya masih belum terlihat. Sementara kami sudah ada sebuah konsep mengenai itu yang jika ada kesempatannya tentu dengan senang hati kami presentasikan.

Untuk skup kecil dan sektoral, pernah ada (atau masih?) yang berupaya mendirikan Kampung Bir Pletok, namun sepertinya penanganan serta kontribusi pemerintah belum optimal.

Pertama, belum optimal visi dari pelaku UMKM nya yang menyadari ini produk hebat maupun kreativitas serta inovasinya agar orang lebih mengenalnya.

Kedua, upaya pemerintah minimal di level kelurahan yang turun tangan membantu pemasaran dan "product branding" nya.

Maka sinergitas serta kolaborasi dari semua pihak memang layak dilakukan untuk membangun Kota Jakarta secara utuh setelah nasibnya kini tak lagi menjadi ibukota negara.

Setidaknya, "kedamaian" acara debat Pilkada Jakarta 2024 semalam sedikit memberikan gambaran positif jika kita memandang acara tersebut secara baik pula, tidak hanya terjebak dalam kondisi "siapa mendukung siapa".***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun