Saya sangat mendukung, siapapun yang berikhtiar serius dalam rangka memajukan budaya Betawi secara umum maupun khusus, karena kebetulan saya adalah pelaku UMKM dengan produk unggulan Bir Pletok.
Mengenai hal itu, saya pernah sedikit mengupasnya di sini dan di sini.
Mengapa saya menjual Bir Pletok sejak tahun 2016, hal tersebut dapat ditonton di sini:Â
Dan juga pernah diliput oleh SCTV serta TVRI secara khusus yang dapat Anda lihat di sini:Â
Singkatnya, dari suka duka kami berbisnis Bir Pletok ini, produk keren yang menyehatkan tersebut, masih belum tersebar luas dan dikenal secara luas. Ironis bukan?
Bahan-bahannya mudah di dapat, memiliki fungsi hebat, bahkan Indonesia dijajah juga karena bahan-bahan rempah di dalam kandungan Bir Pletok itu.Â
Lantas, mengapa produk se-"seksi" ini belum membudaya seperti produk-produk lain di daerah yang ketika disebutkan spontan teridentifikasi daerahnya. Sebutlah Dodol Garut, Bakpia Pathok, dll.
Di Jakarta baru ada Setu Babakan dan Condet yang diarahkan menjadi pusat kebudayaan Betawi. Namun, menurut saya, itu saja tidak cukup.
Upaya pemerintahan sebelumnya memasukkan cara pembuatan Bir Pletok dalam kurikulum pendidikan Sekolah Dasar patut diapresiasi karena itu sangat membantu kami, banyak dari para orang tua yang akhirnya membeli jadi dibandingkan membeli bahan kemudian dimasak sendiri.
Namun sentra-sentra yang bisa diciptakan untuk mengangkat Bir Pletok maupun ke-7 ikon lainnya masih belum terlihat. Sementara kami sudah ada sebuah konsep mengenai itu yang jika ada kesempatannya tentu dengan senang hati kami presentasikan.
Untuk skup kecil dan sektoral, pernah ada (atau masih?) yang berupaya mendirikan Kampung Bir Pletok, namun sepertinya penanganan serta kontribusi pemerintah belum optimal.
Pertama, belum optimal visi dari pelaku UMKM nya yang menyadari ini produk hebat maupun kreativitas serta inovasinya agar orang lebih mengenalnya.
Kedua, upaya pemerintah minimal di level kelurahan yang turun tangan membantu pemasaran dan "product branding" nya.