Mohon tunggu...
Dimas Jayadinekat
Dimas Jayadinekat Mohon Tunggu... Freelancer - Author, Freelance Script Writer, Public Speaker, Enterpreneur Coach

Penulis buku Motivasi Rahasia NEKAT (2012), Penulis Skenario lepas di TVRI dan beberapa rumah produksi (2013-kini), Penulis Rubrik Ketoprak Politik di Tabloid OPOSISI dan Harian TERBIT (2011-2013), Content Creator di Bondowoso Network, Pembicara publik untuk kajian materi Film, Skenario, Motivasi, Kewirausahaan, founder Newbie Film Centre

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Sunflower (2), Bunga Semerbak Mewangi

28 September 2024   06:27 Diperbarui: 1 Oktober 2024   07:12 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bunga penasaran dengan si biang kerok yang menyebabkan keterlambatan mereka tadi siang, tapi juga tak mau terlalu kepo hingga akhirnya masa penghukuman bagi si biang kerok tiba.

Matahari, Untung dan tim dari Kebayoran Lama berdiri dengan posisi siap untuk squat jump, lebih tepatnya berdiri jongkok berkali-kali saja sih. Mereka diminta untuk saling memegang telinga, Bang Rudi yang memberi perintah, maka mereka semua pun menjadi tegang, setegang tiang sutet yang mengalirkan energi listrik besar. Takut tapi kesal dan siap melampiaskan kekesalannya pada siapapun yang berani meledek, begitulah perasaan mereka saat itu.

"Ini hukuman untuk orang-orang indisipliner!" Bang Rudi berkata tegas sambil matanya menatap ke seluruh peserta.

Hampir semua peserta menunduk takut, kecuali Bunga dan Matahari. Dengan cueknya, Matahari membalas tatapan itu dengan wajah datar dan dengan koplaknya malah ngupil. Manusia ajaib!

Semua itu tak luput dari perhatian Bunga, meski ia masih belum tahu siapa si Biang kerok karena memang belum ada kabar validnya. Bunga paling malas bergibah sana-sini dan paling tidak suka dengan segala berita yang tidak pasti kebenarannya. Baginya validitas sebuah informasi itu penting.

Bunga memang bercita-cita menjadi seorang diplomat seperti Papanya hingga akhirnya ia memilih kuliah di jurusan Hubungan Internasional. Dan data itu penting bagi seorang diplomat, ia tak mungkin asal-asalan di dalam mendapatkan data, karena dengan data itulah ia bisa mengolahnya untuk disampaikan baik itu untuk ke internal maupun eksternal institusi.

Untuk itulah, saat mendengar adanya kegiatan Karang Taruna di kelurahannya dan sedang "open recrutment", Bunga menjadi orang yang pertama kali berminat di Kecamatannya. Apalagi saat itu ada event Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK), baginya ini kesempatan untuk berkiprah dan memahami bagian kecil dari negaranya, yakni organisasi serta birokrasi di level Kelurahan ke bawah yang merupakan grass root.

"Heh, kamu. Siapa namanya tadi..Mamat! sini kamu!" perintah Bang Rudi dengan membentak dan mata melotot.

"Siap, bang!" ucap Matahari maju dan ketika semua lengah, tangannya yang bekas ngupil tadi dengan cekatan digosokkan ke tembok.

Itu adalah gerakan tangan tercepat dan membutuhkan keahlian khusus, yang hanya dimiliki oleh para pengupil. Mungkin suata saat perlu ada sertifikasi khusus menyangkut kompetensi ini...halah..

"Kamu hitung dan pimpin di depan mereka,"perintah Bang Rudi lagi.

"Siap!" jawab Matahari tegas sambil melirik dan menyengir sadis ke teman-temannya yang sudah bersiap menerima hukuman.

"Interupsi, Bang!" potong Untung.

"Kenapa, Tung?" tanya Bang Rudi melotot.

"Dia yang bikin gara-gara, jangan di suruh ngitung. Mamat ini orangnya super jail, Bang. nanti kita dikerjain, Bang." Untung menjawab tanpa berani menatap ke arah Bang Rudi.

Bang Rudi terlihat berpikir, "Bener juga. Ya udah, gue aja yang hitung. Oke, siap? Mulai!"

Bang Rudi pun mulai memberikan instruksi, Matahari sewot, Untung dan teman-temannya bernapas lega serta terlihat lebih tenang.

Namun mereka pikir, Bang Rudi hanya menghukum sekadarnya, ternyata ia sangat serius. Di hitungan ke-50, Melati, satu-satunya peserta perempuan terlihat sempoyongan.

"Izin bicara, Bang Rudi!" teriak Bunga mengagetkan semua orang termasuk Bang Rudi

"Eh copot...copot.." 

Ada saja peserta yang latah parah dan spontan ikut teriak kocak, membuat suasana jadi agak segar.

"Iya, kamu. Ada apa?"

"Mohon hentikan hukuman ini. Itu ada peserta perempuan yang sudah nggak kuat," ucap Bunga sambil menunjuk ke arah Melati.

"Hukum harus ditegakkan, dan semua harus merasakan." Bang Rudi membantah tak ingin kehilangan wibawa.

"Izin, Bang. Maaf kalo kurang ajar. Tapi rasanya nggak adil kalo satu orang salah, semuanya dihukum. Apa peran mereka semua kecuali si Mamat yang jadi biang kerok itu. Mereka, bahkan saya juga, sudah merasakan akibat dari kelalaian dia. Maka, izin berikan saran, Mamat lah yang harus dihukum," Bunga berkata panjang dan lantang.

Semua bengong sampai ternganga-nganga, malah sampai ada yang ngiler sakin lebarnya membuka mulut. ada juga yang sampai kemasukan cicak mulutnya. Buseh dah...

"Kamu melawan kebijakan saya?" tanya Bang Rudi kejam.

"Kebijakan dibuat harus dengan kebajikan, bukan kesewenang-wenangan, Bang. Maaf," Bunga berkata lantang dengan tatapan tajam.

"Cantik juga ini anak,"batin Bang Rudi terpukau, "Ya sudah. Kalian duduk kecuali Mamat. Dan kamu, siapa nama kamu?" sambung Bang Rudi dengan tetap berkata tegas.

"Bunga Aprilia dari Kecamatan Pesanggrahan, Bang." Bunga pun tetap berkata lantang namun lebih lembut.

"Kamu maju, temani Mamat menjalani hukumannya," Perintah Bang Rudi mengagetkan.

"Lho kok gitu?" tanya Bunga protes.

"Kamu mau maju atau terus-terusan mendebat? Kita kehilangan banyak waktu ini!" Bang Rudi makin tegas berkata.

"Udah, udah. Maju aja Lo Bung," ucap Matahari santai.

Dengan bersungut-sungut Bunga maju ke depan dan siap mengambil posisi squat jump juga.

"Siapa yang nyuruh kamu squat jump? Kamu yang hitung, terusin dari hitungan tadi,"

Matahari kaget dan sewot, saat ia protes, Bunga pun berkata,"Siap, Bang."

"Nanti dulu, kayaknya nggak bisa gitu deh," protes Matahari.

"Mau saya tambahin hukuman lain?" bentak Bang Rudi sambil melotot lagi.

"Iya deh, iya." Matahari pun pasrah.

Dan akhirnya Bunga menjalankan perintah Bang Rudi, semua pun bertepuk tangan serta meledek Matahari dan bantu menghitung ramai-ramai.

Matahari dengan santainya menjalani hukuman sisa tersebut sendirian. Namun ia tak terlihat lelah, karena sambil melihat Bunga yang cantik dan pandai itu.

Kemudian acara makan malam pun berlangsung setelah itu, Matahari tampak paling bersemangat karena ia merasa dirinya yang paling kelaparan di antara semua peserta.

"Makasih ya, Bung." ucap Matahari.

"Untuk apa ya?" Tanya Bunga

"Untuk protes kamu tadi. Itu keren, Bung."

"Panggil aja lengkap kenapa sih. Berasa zaman kemerdekaan gue dipanggil Bung." jawab Bunga santai dan datar.

Matahari menaruh makanannya di meja dan ingin duduk di sebelah Bunga. Namun dengan cekatan, Bunga melihat Melati yang masih kebingungan cari tempat duduk.

"Hei, sini aja bareng gue,"panggil Bunga.

Matahari bengong, apalagi ketika dengan cueknya, Bunga menggeser makanan Matahari ke tempat yang kosong di meja itu. Kemudian ia menarik bangkunya dengan mengarahkan agar Melati duduk di situ.

"Makasih. Kenalin, gue Melati," Melati tersenyum sambil mengulurkan tangan untuk memberikan salam.

"Bunga,"

"Matahari," spontan Matahari nyeletuk.

"Nggak nanya," Bunga berkata singkat.

Meski di dalam hatinya, Bunga tertawa melihat wajah Matahari yang sok lugu di depannya itu. Dan dengan cueknya pula ia duduk di hadapan Bunga.

"Di sini boleh kan? Dah penuh semua itu bangkunya."

"Ya udah, apa boleh buat."

Matahari tersenyum dan kemudian saat makan, bukannya menghabiskan makanan dengan cepat, ia malah sempat menatap penuh kekaguman ke arah Bunga."

"Cantiknya..." Batin Matahari berkata kagum.

Dan ternyata bukan Matahari saja yang kagum, tapi hampir semua lelaki yang belum mengenal Bunga mendadak terlihat aneh karena saat melihatnya seperti melihat keindahan alam semesta saja.

Bang Rudi adalah termasuk yang diam-diam mengagumi Bunga, ia selama ini  dikenal killer, tak pernah ada yang berani membantah apalagi sampai berani berdebat seperti yang dilakukan Bunga tadi. Namun rekor itu terpecahkan dengan hadirnya seorang perempuan cantik dan cerdas yang dengan lantangnya berani menyuarakan keadilan.

Nama dan kecantikan Bunga jadi begitu semerbak wanginya di acara tersebut, seakan semua lelaki ingin berkenalan dan ingin akrab dengannya.

Bunga paham hal itu. Ia sama sekali tak pernah ingin jadi pusat perhatian, namun lingkungannya selalu memberikan ekspektasi lebih kepadanya. Seolah-olah di negeri ini sudah kehilangan stok perempuan cantik saja. 

Bunga merasa antara bangga atau tak nyaman ketika dengan wajah cantiknya itu justru menjadi pusat perhatian di malam itu.

Dalam waktu singkat Bunga mendadak jadi idola Karang Taruna Jakarta Selatan...***

BERSAMBUNG

Untuk yang belum baca Bab 1 silahkan ya...biar nyambung silaturahmi..eh..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun