"Emang kenapa?" tanyaku lagi
"Lo bahagia kan dengan kekayaan Papa mama, terus sekarang juga lo kerja di perusahaan multinasional pula," kejar Yodi mencecarku.
"Iya, aku bahagia dari dulu. Sampai aku tuh ngerasa nggak pernah sedih dan pusing mikirin hidup," jawabku agak menerawang.
"Nah, kan. Pantes dong kalo gue yang miskin seumur-umur ini pingin jadi kayak elo," ucap Yodi dengan senyum sinis.
"Udah ah, nggak usah bahas beginian. Setiap orang udah Allah tentuin garis hidupnya, kan elo dulu yang sering ngajarin gue," aku berusaha mengingatkan Yodi serta mengalihkan topik pembicaraan yang akan membuatnya semakin sedih.
"Dulu. Sewaktu gue masih tangguh dan belum sehancur sekarang," Yodi menunduk dengan wajah super galau.
"Yod, please. Move on, hidup lo jangan diratapi begini terus dong. Kalo lo ngerasa masa lalu lo buruk karena lo...nggak punya, ya sekarang saatnya lo berubah untuk masa depan lo," aku pun coba menasihatinya sebagai sahabat.
"Teorinya sih emang gitu,"
"Ya lo praktekin dong,"
Kemudian, hening...
Kami berdua hanyut dalam lamunan masing-masing yang tak dapat terprediksi serta dibaca oleh orang lain.