"Lek!"
Gara-gara teriakan cempreng itu, seketika kaki kiri Kardi menginjak kotoran ayam yang dengan manisnya berada di pinggir jalan dan tepat berada di jalur langkah kakinya.
Perasaan paling merasa benar dan menyalahkan si kotoran harus menjadi prioritas utamanya, demi menghilangkan rasa malu serta kesal. Tokh, dia hanya kotoran  yang tak akan mungkin bisa melawan apalagi mendebatnya.
"Lak lek lak le wae...Ndasmu mambu!" maki Kardi dongkol di dalam hatinya.
Dengan wajah menahan kesal, Kardi menoleh ke arah datangnya suara, keponakan yang biasa dipanggilnya Ucrit tampak memanggil.
"Opo to Crit?" ucapnya masih dongkol.
"Jangan lupa pesan Mama," Si Ucrit menjawab dengan teriakan santai dari kejauhan.
"Iya. Aku memang sudah tua, tapi nggak pikun!" umpatnya kesal.
"Ingat, darah tinggimu, Lek. Jangan misuh-misuh gitu ah. Masih pagi," ledek Ucrit.
Dan setelah berkata begitu, dengan cueknya, Ucrit masuk ke gang rumahnya tanpa merasa berdosa dan tak mau peduli dengan nasib Pamannya yang menderita akibat menginjak kotoran ayam di pagi hari.
Dengan bersungut-sungut, Kardi berjalan ke pinggir, mencari sesuatu untuk membersihkan kotoran ayam yang melekat di sandal jepit dan sedikit mengenai telapak kakinya.