Mohon tunggu...
Dimas Anggoro Saputro
Dimas Anggoro Saputro Mohon Tunggu... Insinyur - Engineer | Content Creator

"Bisa apa saja", begitu orang berkata tentang saya.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Simalakama Rokok: Mudah Didapat, Menjadi Prioritas, Namun Tak Mudah Ditinggalkan

12 November 2019   00:26 Diperbarui: 12 November 2019   19:24 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Cara terbaik untuk berhenti merokok adalah: Jangan pernah memulai merokok!", Dr. drg. Amaliya, Msc.-Departement Periodontologi, FKG-Universitas Padjadjaran.

Sebagai seorang perokok, saya bersyukur dapat dipertemukan dengan dokter Amaliya dan pakar-pakar lainnya dalam forum yang diinisiasi oleh Indonesian Young Pharmacist Group (IYPG) dan Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR).

Tema yang diangkat dalam forum tersebut adalah "Pengurangan Bahaya Tembakau dan Upaya Berhenti Merokok Dalam Perspektif Farmasi dan Kesehatan Publik".

Saya pribadi sudah meniatkan untuk berhenti merokok. Seperti saran langkah-langkah berhenti merokok yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Namun, niat itu pun hingga kini tetap menjadi niat belaka. Mungkin itu juga yang terjadi pada teman-teman perokok yang lain. Ada juga teman perokok yang mengikrarkan: "Tidak akan pernah berhenti merokok!".

Dari kiri ke kanan: Aji, Arriyo, Amaliya, Ardini, Arde (dok. Vika)
Dari kiri ke kanan: Aji, Arriyo, Amaliya, Ardini, Arde (dok. Vika)
***

Bicara tentang berhenti merokok di lingkungan kita, memang tidak mudah. Terlebih pembicaraan tersebut terjadi antara perokok aktif dan perokok pasif.

Perokok pasif: "Kamu gak sayang sama diri kamu? Gak sayang sama kesehatan kamu? Gak pingin berhenti merokok gitu?"

Perokok aktif: "Karena aku sayang sama diriku dan kesehatanku, makannya aku merokok."

Perokok pasif: "Kok gitu??"

Perokok aktif: "Aku sayang sama diriku, maka dari itu aku mengasuransikan kesehatanku. Kalau aku gak merokok, gimana masa depan asuransiku? Kan asuransiku memakai pajak cukai rokok untuk penghidupannya."

Perokok pasif: *krik krik krik*

Ujung-ujungnya si perokok pasif akan cenderung mengalah dan mengakhiri debat kusir tersebut.

Perlunya Edukasi Lebih

Beruntunglah saya berada di lingkungan yang mendukung untuk berhenti merokok. Sekali lagi, berhenti merokok bukanlah hal yang mudah. Ia bagaikan candu. Seperti halnya merindumu.

Bahaya rokok terletak pada TAR (slide dr. Amaliya)
Bahaya rokok terletak pada TAR (slide dr. Amaliya)
Selama ini presepsi kita adalah nikotin pada rokok merupakan penyebab utama yang membahayakan kesehatan. Ternyata anggapan tersebut keliru. Bahaya rokok terletak pada TAR.

TAR berasal dari proses pembakaran rokok. Untuk itu KABAR hadir di tengah-tengah kita untuk memberikan edukasi lebih mengenai bahaya rokok.

Kita cenderung mengabaikan nasihat yang datang dari orang-orang di dekat kita. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Begitu bukan?

Kebanyakan dari kita memilih untuk sakit terlebih dahulu daripada mengurangi risiko tersebut. Ketika jatuh sakit, bertemu tenaga medis, barulah kita menyesal dan mendengarkan apa kata tenaga medis tersebut.

Di era ini, sebenarnya kita dapat mengedukasi mandiri diri kita sendiri. Gawai dan akses internet menjadi fasilitas utama yang dapat kita manfaatkan. Setidaknya, kita menolong diri kita sendiri sebelum datang pertolongan dari orang lain.

Tembakau alternatif dapat mengurangi risiko hingga 90%

Rokok yang selama ini kita kenal berjenis tembakau bakar. Baru-baru saja kita mengenal e-cigarette atau Vape yang notabene merupakan tembakau tidak dibakar. Ingat ya, rokok (tembakau bakar) memiliki risiko tinggi karena proses pembakarannya (TAR).

Sedangkan Vape tidak melibatkan proses pembakaran melainkan proses penguapan dan dikategorikan sebagai produk tembakau berisiko rendah.

Produk-produk terapi sulih nikotin (slide dr. Amaliya)
Produk-produk terapi sulih nikotin (slide dr. Amaliya)
Saya bukan bermaksud promosi Vape ya. Vape hanyalah salah satu contoh produk tembakau berisiko rendah atau produk Pengurangan Bahaya Tembakau (Tobacco Harm Reduction). Teman-teman bisa mencarinya sendiri di internet tentang apa saja produk Tobacco Harm Reduction.

Fakta berbicara, hasil penelitian dari Institut Federal Jerman untuk Penelitian Risiko (German Federal Institute for Risk Assesment/BfR) menunjukkan bahwa salah satu produk tembakau alternatif yaitu produk yang dipanaskan memiliki tingkat toksisitas (tingkat merusak sel) yang lebih rendah hingga 80 sampai 90 persen dibandingkan rokok.

"Kajian ilmiah sudah membuktikkan produk tembakau alternatif memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah daripada rokok. Sejumlah negara seperti Inggris, Jepang, Korea Selatan dan Selandia Baru mendukung penggunaan produk tembakau alternative untuk menurunkan bahaya kesehatan dari rokok. Dengan kondisi sekarang ini, partisipasi dari apoteker dapat memberikan perspektif baru bagi perokok dewasa dan pemerintah", kata Amaliya.

Apakah pemerintah Indonesia akan berkonsentrasi di Tobacco Harm Reduction?

Sempat menjadi buah bibir, bahwasannya Vape dilarang di Indonesia. Ketua KABAR dan Pengamat Hukum, Arriyo Bimmo, menerangkan: "Vape belum ada regulasinya di Indonesia".

"Sebuah negara dapat mengeluarkan 'pelarangan' akan vape, jika negara tersebut sudah melakukan penelitian tentang vape tersebut", imbuh Arriyo.

84 negara mengatur Rokok Elektrik (tembakau alternatif) secara khusus. 28 negara melarang dan 56 negara mengatur dan tidak melarang. Negara-negara maju seperti Inggris, Jepang dan Selandia Baru telah berkonsentrasi pada Tobacco Harm Reduction.

Tobacco Harm Reduction untuk perokok (slide dr. Amaliya)
Tobacco Harm Reduction untuk perokok (slide dr. Amaliya)

Konsep pengurangan risiko harus mendapatkan dukungan dari pemerintah melalui regulasi khusus yang terpisah dari rokok.

Dukungan nyata dari pemerintah saat ini adalah pengaturan tarif cukai bagi produk tembakau alternatif, yang dikategorikan di segmen Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL).

Langkah pemerintah menaikkan harga cukai rokok, tampaknya bukan merupakan senjata ampuh untuk mengurangi perokok di Indonesia. Aturan tentang cara mendapatkan rokok harus berusia minimal 18 tahun pun tak menjadi soal untuk mendapatkan rokok secara mudah.

Praktiknya, anak-anak bisa membeli rokok.

Bahkan, ada orang tua yang meminta anaknya membelikan rokok ke warung. Ironi.

Akankah pemerintah mengikuti langkah negara-negara maju tersebut di atas? Mengingat Indonesia menempati urutan ke-3 jumlah perokok terbanyak di dunia versi Global Tobacco Atlas, 2017.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun