Fakta berbicara, hasil penelitian dari Institut Federal Jerman untuk Penelitian Risiko (German Federal Institute for Risk Assesment/BfR) menunjukkan bahwa salah satu produk tembakau alternatif yaitu produk yang dipanaskan memiliki tingkat toksisitas (tingkat merusak sel) yang lebih rendah hingga 80 sampai 90 persen dibandingkan rokok.
"Kajian ilmiah sudah membuktikkan produk tembakau alternatif memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah daripada rokok. Sejumlah negara seperti Inggris, Jepang, Korea Selatan dan Selandia Baru mendukung penggunaan produk tembakau alternative untuk menurunkan bahaya kesehatan dari rokok. Dengan kondisi sekarang ini, partisipasi dari apoteker dapat memberikan perspektif baru bagi perokok dewasa dan pemerintah", kata Amaliya.
Apakah pemerintah Indonesia akan berkonsentrasi di Tobacco Harm Reduction?
Sempat menjadi buah bibir, bahwasannya Vape dilarang di Indonesia. Ketua KABAR dan Pengamat Hukum, Arriyo Bimmo, menerangkan: "Vape belum ada regulasinya di Indonesia".
"Sebuah negara dapat mengeluarkan 'pelarangan' akan vape, jika negara tersebut sudah melakukan penelitian tentang vape tersebut", imbuh Arriyo.
84 negara mengatur Rokok Elektrik (tembakau alternatif) secara khusus. 28 negara melarang dan 56 negara mengatur dan tidak melarang. Negara-negara maju seperti Inggris, Jepang dan Selandia Baru telah berkonsentrasi pada Tobacco Harm Reduction.
Konsep pengurangan risiko harus mendapatkan dukungan dari pemerintah melalui regulasi khusus yang terpisah dari rokok.
Dukungan nyata dari pemerintah saat ini adalah pengaturan tarif cukai bagi produk tembakau alternatif, yang dikategorikan di segmen Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL).
Langkah pemerintah menaikkan harga cukai rokok, tampaknya bukan merupakan senjata ampuh untuk mengurangi perokok di Indonesia. Aturan tentang cara mendapatkan rokok harus berusia minimal 18 tahun pun tak menjadi soal untuk mendapatkan rokok secara mudah.
Praktiknya, anak-anak bisa membeli rokok.