Martha Benita, gadis berparas cantik yang kesehariannya sebagai desain grafis telah berpengalaman sebagai Pacer. Terhitung sudah empat kali dara berparas cantik tersebut menjadi Pacer dalam ajang perlombaan lari bersama rekan-rekannya yang tergabung dalam League Running Buddies (LRB).
"Kalau pelari yang ikut kami mencapai target waktunya, itu jadi kepuasan tersendiri", ucap Martha dengan penuh rasa bangga dan bahagia.
Tak jarang Martha mendapatkan ucapan terima kasih dari para pelari yang mengikutinya hingga garis finish dan mencatatkan waktu terbaik mereka. Menurut Martha, menjadi seorang Pacer berarti harus berkomitmen untuk latihan lebih giat dan lebih keras dibandingkan dengan pelari yang lain.
Tempo lari yang konstan dibutuhkan agar pace tak terlalu cepat atau terlalu lambat di awal. Martha sesekali melirik sport wacth yang ia kenakan bila merasa sudah keluar pace. Martha biasa berlari di pace 6 (6 menit per kilometer). Ia pun juga harus pintar mengatur waktu minum untuk menggantikan cairan di tubuhnya ketika berada di water station. Baginya, dalam berlari setiap detik itu berharga.
Berpengalaman menjadi seorang Pacer tak lantas membuat tugasnya berjalan selalu mulus. Komplain mengenai pace-nya yang dinilai terlalu cepat atau terlalu lambat oleh peserta lain membuat dirinya berada dalam posisi serba salah. Terkadang, apa yang telah kita upayakan sebaik mungkin bagi orang lain, belum tentu orang lain menerimanya dengan baik pula.
Untuk apa mendapatkan gelar juara jika tidak bermental juara? Mental juara adalah ketika kita menang, orang lain tak merasa kita kalahkan. Dan di saat kita kalah, dengan lapang dada kita menerima dan memberikan ucapan selamat kepada pemenang yang berhasil berdiri di atas podium.
Mens sana in corpore sano,
Dimas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H