Mohon tunggu...
Dimas Ajie
Dimas Ajie Mohon Tunggu... Penulis - Tulisan pribadi

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Airlangga. Alumni SMAN 2 Tuban 2017. Minat dalam bidang Politik, Pemerintahan, Sastra dan Sejarah. Dapat dihubungi melalui ajiediimas@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Uang, Korupsi, dan Masalah Mental Bangsa Kita

6 Februari 2019   02:03 Diperbarui: 17 Mei 2019   21:37 3684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Politik uang adalah suatu usaha untuk mendorong atau mempengaruhi pilihan sesorang dengan menggunakan imbalan berupa uang atau materi. Menurut Yusril Ihza Mahendra, politik uang adalah usaha yang dilakukan untuk mempengaruhi massa pemilu dengan imbalan materi. Salah satu bentuk praktik politik uang adalah pemberian uang secara langsung kepada pemilih saat kampanye. Bisa juga berupa pemberian sembako, alat-alat ibadah dan barang-barang lain yang diembel-embeli pesan-pesan politik dari peserta pemilu.


Politik uang banyak digunakan oleh peserta pemilu dengan dana yang besar namun memiliki elektabikitas yang rendah serta minim gagasan. Karenanya, memberi suara pemilih lewat praktik politik uang adalah jalan pintas yang ditempuh oleh mereka demi mendapatkan suara yang tinggi tanpa susah payah 'menjual' program dan gagasan kepada calon pemilih. Segmen calon pemilih yang rawan menjadi sasaran politik uang adalah pemilih dengan status menengah kebawah baik secara ekonomi maupun pendidikan. Hal ini sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Pemilih dengan status pendidikan dan ekonomi menengah kebawah cenderung tidak memilih calon berdasarakn gagasannya dalam membangun daerah. Mereka pun secara ekonomi serba kekurangan, oleh karena itu, dalam memilih calon mereka cenderung money oriented  atau lebih berorientasi kepada berapa banyak uang yang sanggup diberikan oleh calon meskipun uang pemberian calon tersebut tentu tidak sebanding dengan jabatan selama lima tahun ke depan yang bersinggungan langsung dengan kebijakan-kebijakan politik di daerah.


Bukti dari masih banyaknya praktek politik uang adalah hasil survei dari Sumatera Barat Leadership Forum dimana sebanyak 800 rasponden, 400 diantaranya akan mengubah pilihannya di pilkada 2018 apabila ada calon yangmemberi uang atau bingkisan. Tidak hanya itu, temuan Bawaslu pada pilkada 2017, terdapat sebanyak 600 laporan mengenai adanya praktek politik uang. Dari beberapa laporan tersebut, mirisnya adalah praktik politik uang dilakukan saat masa tenang dimana seharusnya sudah tidak ada lagi aktivitas kampanye oleh peserta pemilu. Dari laporan yang diterima Bawaslu itu juga diketahui bahwa praktik politik uang terjadi dalam bentuk pemberian uang dan bingkisan yang sebagian besar dilakukan oleh relawan. Hal ini menunjukkan betapa masih longgar dan banyaknya celah dari aturan-aturan yang dibuat untuk menjaga kontestasi politik ini agar terbebas dari praktik politik uang. Disamping itu, hal ini juga menunjukkan bahwa belum ada pengawasan ketat dan pemberian hukuman yang setimpal kepada pelaku politik uang. Undang-undang terkesan hanya dibuat tanpa ada pengawasan yang berarti dalam pelaksanaannya.


Kurang sadarnya masyarakat Indonesia akan budaya politik yang baik juga merupakan salah satu pendorong masih banyaknya kasus politik uang dalam pemilu. Masyarakat cenderung pasif akan adanya kontestasi politik dan merasa pesimis akibat tidak adanya calon yang dianggap memiliki kapabilitas untuk memanggul jabatan publik. Tingkat pendidikan juga sangat mempengaruhi daya kritis masyarakat dalam memilih seorang kepala daerah dan anggota legislatif. Calon-calon kepala daerah dan legislatif yang minim gagasan pun bisa jadi akan terpilih karena masyarakat tidak kritis akan figur yang menjadi calon. Terlebih lagi, masalah perekonomian yang dari tahun ke tahun masih terus membelenggu kehidupan membuat masyarakat merasa bahwa siapapun yang menjabat tidak akan membawa perubahan apapun dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu masyarakat sangat mudah sekali terpengaruh dan memilih calon hanya berdasarkan siapa yang mampu memberikan mereka uang lebih banyak saat kampanye. Sikap-sikap politik yang pragmatis seperti inilah yang semakin menumbuh suburkan budaya politik uang di masyarakat sehingga masyarakat menganggap bahwa politik uang adalah hal yang wajar dan seakan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari setiap adanya pemilu.


Kemudian, ada hubungan yang erat antara praktik politik uang dalam pemilu dengan banyaknya kasus korupsi oleh kepala daerah dan anggota legislatif. Praktik politik uang tidak hanya dilakukan oleh calon kepala daerah dan anggota legisltaif yang baru mencalonkan melainkan oleh pejabat petahana yang mencalonkan kembali. Rata-rata seorang calon kepala daerah maupun calon legislatif memiliki kekayaan sebesar 6-7 miliyar, sedangkan biaya pencalonan yang dibutuhkan sebesar 20-30 miliyar. Kekurangan modal untuk pencalonan inilah yang membuat pejabat petahana melakukan tindak pidana korupsi. Banyak sekali celah-celah yang bisa dimanfaatkan untuk korupsi. Diantaranya adalah APBD, pajak, proyek daerah, dan jual beli jabatan. Nilai uang yang besar dalam sektor-sektor yang rawan dikorupsi membuat Kepala Daerah tergiur untuk memanipulasinya. Sektor yang paling rawan dijadikan ladang korupsi adalah APBD. Biasanya korupsi APBD dilakukan bersama dengan anggota DPR. Uang hasil korupsi tersebut bisa jadi merupakan bagian yang akan digunakan untuk praktik politik uang demi mendapatkan suara yang tinggi dalam pemilu. 


Di media-media massa arus utama, kita sering sekali disuguhi kabar mengenai kepala daerah maupun anggota DPR yang ditangkap oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) akibat diduga melakukan tindak pidana korupsi. Menurut data yang diperoleh Kementerian Dalam Negeri, selama periode 2004-2017 sebanyak 313 Kepala Daerah ditangkap KPK akibat terjerat kasus korupsi. Menurut KPK, hingga tahun 2014 saja sudah ada 3600-an anggota DPRD yang tertangkap kasus korupsi dan kebanyakan adalah karena kasus suap APBD. Ini adalah jumlah yang banyak dan membuat kita merasa miris. Semangat menegakkan nilai-nilai demokrasi justru menimbulkan permasalah korupsi yang kronis.


Masih banyaknya kasus politik uang selama pemilu dan korupsi oleh Kepala Daerah maupun anggota legislatif membuat pemerintah harus merevisi undang-undang baik itu mengenai pengelolaan dana di daerah maupun aturan dalam penyelenggaraan pemilu yang bertujuan untuk mencegah dan menekan angka praktik politik uang dan korupsi yang tiap tahun semakin meningkat. Saat pemilu berlangsung, baik itu KPU maupun Bawaslu harus bekerja lebih keras dalam menyelidiki aliran dana peserta pemilu baik itu yang digunakan saat kampanye maupun sebelum dan sesudah masa kampanye agar semakin mempersempit celah yang bisa dimanfaatkan untuk melakukan tindakan politik uang. Disamping ini adalah tugas pemerintah untuk menerbitkan aturan dan memberi hukuman yang tegas untuk siapa saja yang terbukti melakukan politik uang dan korupsi, kesadaran masyarakat akan budaya politik yang baik juga harus ditingkatkan agar masyarakat dapat secara aktif berpartisipasi dalam kontes politik dan dapat melaporkan segala bentuk praktik politik uang. Selain itu, masyarakat harus kritis dalam mengawasi penyelenggaraan pemerintahan daerah.


Politik uang dalam penyelenggaraan pemilu merupakan sebuah tindakan yang sangat mencederai nilai-nilai demokrasi yang coba dibangun berdasarkan semangat reformasi. Kita tidak bisa menyalahkan satu pihak atas kronisnya permasalahan ini. Banyak hal yang dapat menjadi faktor mengapa praktik politik uang masih terus terjadi baik itu karena longgarnya aturan maupun kesadaran masyarakat akan budaya politik yang baik. Begitu pun dengan korupsi, sebuah tindak kejahatan yang sangat merugikan negara karena korupsi menyalahgunakan jabatan publik untuk memperkaya diri sendiri. Dua variabel; politik uang dan korupsi pejabat publik seperti lingkaran setan yang sulit diberangus karena dua hal tersebut saling mempengaruhi satu sama lain.


Pemilu seharusnya menjadi pesta demokrasi yang sebenar-benarnya. Yaitu pesta demokrasi yang para pemilihnya memiliki kesadaran politik, kebebasan bersuara dan dapat melahirkan sosok pemimpin yang tidak hanya amanah dalam menjalankan mandat rakyat namun juga pemimpin yang bersih dari korupsi. Korupsi oleh pejabat publik akan sangat merugikan rakyat karena uang rakyat lah yang menjadi ladang korupsi oleh pejabat. Oleh karena itu, kecerdasan masyarakat dalam pemilu sangat diperlukan karena imbas dari pemilihan kepala daerah ini akan kembali lagi ke masyarakat melalui kebijakan yang dibuat oleh pejabat terpilih. Jangan sampai masyarakat justru dirugikan oleh ketidakcerdasan mereka dalam memilih sosok pemimpin.
Perlu ada perbaikan dalam demokrasi di Indonesia khususnya pemilu yang lebih ketat secara pengawasan sehingga pemilu dapat berjalan baik dan terhindar dari segala bentuk politik uang dan kecurangan-kecurangan lainnya. Perlu adanya sistem pengawasan yang lebih ketat terhadap para peserta pemilu baik itu para calon maupun partai-partai pengusungnya terutama pada dana yang dipakai untuk kegiatan kampanye. Selama ini dana kampanye adalah salah satu tempat mengalir uang hasil korupsi kepala daerah dan anggota legislatif.


Selain membenahi aturan dan tata kelola pemilu, kita juga harus dapat mengedukasi masyarakat agar sadar terhadap politik dalam konteks ini adalah menyadarkan masyarakat pentingnya untuk memilih calon pemimpin dan wakil yang jujur. Kekurang pekaan masyarakat akan akibat dari politik uang selama pemilu membuat oknum-oknum terus melakukan tindakan melanggar hukum seperti tidak peduli akan banyaknya aturan dan beratnya hukuman yang mengancam. Menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi pemerintah serta partai politik dan elemen-elemen lainnya untuk mengedukasi dan menyadarkan masyarakat agar mampu memilih pemimpin secara rasional dan meninggalkan segala bentuk politik uang dan kecurangan-kecurangan lainnya dalam pemilu.


Ketika kita menyadari betapa banyak pun aturan-aturan perundang-undangan yang telah mengatur pemilu agar berjalan demokratis, jujur, dan adil, praktik praktik politik uang terus saja terjadi. Begitupun dengan aturan perundang-undangan yang mengatur pemerintahan daerah agar diselenggarakan secara akuntabel demi kesejahteraan masyarakat namun kasus-kasus korupsi pejabat pemerintah masih terus bermunculan dan justru mengalami tren peningkatan setiap tahun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun