Mohon tunggu...
Dimas Ajie
Dimas Ajie Mohon Tunggu... Penulis - Tulisan pribadi

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Airlangga. Alumni SMAN 2 Tuban 2017. Minat dalam bidang Politik, Pemerintahan, Sastra dan Sejarah. Dapat dihubungi melalui ajiediimas@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Uang, Korupsi, dan Masalah Mental Bangsa Kita

6 Februari 2019   02:03 Diperbarui: 17 Mei 2019   21:37 3684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Gelombang demokratisasi ketiga yang menyebar ke seluruh penjuru dunia pada akhir abad ke-20 berdampak pada runtuhnya legitimasi rakyat terhadap rezim otoriter di berbagai negara, tidak terkecuali Indonesia. Otoritarianisme rezim Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto selama 32 tahun memunculkan kejenuhan rakyat akan kungkungan kebebasan dan tindakan-tindakan represif pemerintah terhadap rakyat yang dianggap subversif. Tidak hanya itu, praktek-praktek kolusi dan nepotisme yang kronis pada pemerintahan pusat hingga paling bawah, krisi ekonomi berkepanjangan yang memicu inflasi hingga 77% ditambah dengan dwifungsi ABRI semakin membuat rakyat merasa bahwa reformasi merupakan sebuah keharusan demi membersihkan pemerintahan yang kotor dan menegakkan nilai-nilai demokrasi di Indonesia. Puncaknya, pada Mei 1998 terjadi gelombang demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa di seluruh penjuru negeri berhasil memaksa Soeharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Indonesia mulai memasuki era reformasi dengan salah satu semangat utama yaitu mengakkan demokrasi yang selama orde baru hanya menjadi mimpi indah bagi rakyat. 

Era reformasi yang digulirkan mulai tahun 1998 membawa perubahan pada sistem politik khusunya pada tatakelola pemilu di Indonesia. Perubahan yang paling terasa pada tatakelola pemilu di Indonesia adalah Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada). Pada masa Orde Baru, kepala daerah tidak dipilih secara langsung oleh rakyat. Menurut Pasal 15 dan 16 UU No. 5 Tahun 1974, dua calon kepala daerah diajukan oleh DPRD kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri kemudian dipilih salah satu untuk diangkat menjadi Kepala Daerah. Pemilihan Kepala Daerah dengan sistem ini sangat rawan disusupi oleh kepentingan-kepentingan dari Presiden maupun oleh DPR karena tidak ada transparansi kepada publik dalam proses pencalonan dan pemilihannya.


Setelah reformasi, kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat melalui Pilkada yang dilaksanakan secara periodik. Sistem pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat adalah wujud dari partisipasi rakyat dalam politik sehingga kepala daerah yang terpilih akan memperoleh legitimasi dari rakyat dalam menjalankan pemerintahannya. Lebih dari itu, Maswadi Rauf (2005) menyatakan bahwa alasan perlunya digelar pilkada langsung adalah Pertama, untuk membangun otonomi daerah; Kedua, menumbuhkan kepemimpinan local; Ketiga, meningkatkan akuntabilitas public dan transparansi pemerintah; dan Keempat, adalah proses legitimasi rakyat yang kuat.

Namun, Pemilihan Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat yang seyogyanya diselenggarakan demi menegakkan nilai-nilai demokrasi itu justru menimbulkan berbagai permasalahan yang pelik. Dalam kontestasi Pemilu, tidak jarang para peserta pemilu terkesan menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan. Mereka kerap melakukan tindakan politik uang yang mencederai nilai-nilai demokrasi yang dibangun oleh semangat reformasi. Tidak hanya dalam Pilkada, dalam Pileg pun sering terjadi kasus-kasus serupa. Politik uang ini merupakan salah satu bentuk korupsi dalam pemilu.


Dalam buku Monitoring Election Campaign Finance dari Open Society Justice Initiative dijelaskan bahwa korupsi dalam pemilu adalah praktek pendanaan kampanye, baik penerimaan, maupun pengeluaran yang menciptakan hubungan koruptif antara penyumbang dan partai politik atau kandidat yang didukungnya maupun pola perilaku koruptif yang terjadi antara peserta pemilu dan voters. Korupsi pemilu bisanya terjadi dalam tiga bentuk. Pertama, penerimaaan dan kampanye yang berasal dari sumber-sumber yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan; Kedua, penyalahgunaan fasilitas negara dan jabatan untuk keperluan atau tujuan kampanye (abuse of power); dan Ketiga, pembelian suara pemilih (money politic)
Dari penjelasan diatas, bisa kita uraikan bentuk-bentuk korupsi dalam pemilu sebagai berikut:

1. Penerimaan sumber-sumber dana kampanye yang dilarang menurut peraturanperundang-undangan.


Menurut pasal 4 ayat 1 PKPU No. 5 Tahun 2017, sumber dana kampanye bisa berasal dari pasangan calon, partai politik/gabungan partai politik pengusung, serta sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain. Adanya aturan ini sebenarnya sudah membatasi sumber dana kampanye para calon yang maju dalam pilkada. Akan tetapi tetap ada celah yang potensial untuk melakukan korupsi.  Dalam aturan tersebut tidak mengatur dana yang dipakai untuk segala aktivitas pencitraan diri peserta pemilu sebelum dan sesudah masa kampanye. Selama ini para peserta hanya melaporkan pemasukan dan pengeluaran dana yang dipakai saat kampanye. Dana yang dipakai sebelum dan sesudah masa kampanye tidak dilaporkan dan ini menjadi celah masuknya dana-dana yang berasal dari sumber-sumber yang dilarang oleh aturan.


Menurut kajian dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), terdapat empat sumber dana kampanye yang menjadi kerawanan. Yang pertama, dari korupsi yang biasanya dilakukan oleh calon petahana. Kedua, dari partai dengan potensi ilegal dari korupsi proyek dan perijinan serta suap. Yang ketiga, dari badan usaha yang potensi ilegalnya adalah uang hasil tindak pidana pencucian uang. Yang keempat, dari ormas yang bersumber dari dana titipan ormas. Jika selama ini yang dilaporkan oleh peserta pemilu hanya dana yang dipakai selama kapanye, maka dana-dana yang dipakai sebelum dan sesudah masa kampanye bisa jadi berasal dari empat sumber-sumber rawan yang dipaparkan tersebut.

2. Penyalahgunaan fasilitas negara dan jabatan untuk keperluan kampanye


Salah satu contoh bentuk penyalahgunaan fasilitas negara dan jabatan untuk kampanye ialah pemakaian gedung-gedung pemerintahan untuk kegiatan kampanye dan pemakaian kendaraan dinas untuk akomodasi kampanye. Hal tersebut tentu tidak diperbolehkan karena gedung pemerintahan adalah fasilitas publik yang diperuntukkan bagi pejabat pemerintah untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan pemerintahan demi kempentingan publik dan bukan semata-mata milik pejabat untuk kepentingan pribadi dan kepentingan politik praktis. Begitupun dengan kendaraan dinas yang seharusnya digunakan sebagai akomodasi bagi pejabat pemerintah untuk mobilitas dalam kegiatan pemerintahan, bukan untuk kegiatan kampanye. Oleh karena itu, terbitlah UU Pemilu no. 7 tahun 2017 dalam pasal 281 dan 305 yang terdapat aturan cuti kampanye bagi pejabat yang akan mencalonkan kembali. Hal ini bertujuan untuk menghindari penyalahgunaan fasilitas negara untuk kampanye oleh calon petahana.

3. Pembelian suara pemilih atau biasa disebut politik uang (money politic).


Politik uang adalah suatu usaha untuk mendorong atau mempengaruhi pilihan sesorang dengan menggunakan imbalan berupa uang atau materi. Menurut Yusril Ihza Mahendra, politik uang adalah usaha yang dilakukan untuk mempengaruhi massa pemilu dengan imbalan materi. Salah satu bentuk praktik politik uang adalah pemberian uang secara langsung kepada pemilih saat kampanye. Bisa juga berupa pemberian sembako, alat-alat ibadah dan barang-barang lain yang diembel-embeli pesan-pesan politik dari peserta pemilu.


Politik uang banyak digunakan oleh peserta pemilu dengan dana yang besar namun memiliki elektabikitas yang rendah serta minim gagasan. Karenanya, memberi suara pemilih lewat praktik politik uang adalah jalan pintas yang ditempuh oleh mereka demi mendapatkan suara yang tinggi tanpa susah payah 'menjual' program dan gagasan kepada calon pemilih. Segmen calon pemilih yang rawan menjadi sasaran politik uang adalah pemilih dengan status menengah kebawah baik secara ekonomi maupun pendidikan. Hal ini sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Pemilih dengan status pendidikan dan ekonomi menengah kebawah cenderung tidak memilih calon berdasarakn gagasannya dalam membangun daerah. Mereka pun secara ekonomi serba kekurangan, oleh karena itu, dalam memilih calon mereka cenderung money oriented  atau lebih berorientasi kepada berapa banyak uang yang sanggup diberikan oleh calon meskipun uang pemberian calon tersebut tentu tidak sebanding dengan jabatan selama lima tahun ke depan yang bersinggungan langsung dengan kebijakan-kebijakan politik di daerah.


Bukti dari masih banyaknya praktek politik uang adalah hasil survei dari Sumatera Barat Leadership Forum dimana sebanyak 800 rasponden, 400 diantaranya akan mengubah pilihannya di pilkada 2018 apabila ada calon yangmemberi uang atau bingkisan. Tidak hanya itu, temuan Bawaslu pada pilkada 2017, terdapat sebanyak 600 laporan mengenai adanya praktek politik uang. Dari beberapa laporan tersebut, mirisnya adalah praktik politik uang dilakukan saat masa tenang dimana seharusnya sudah tidak ada lagi aktivitas kampanye oleh peserta pemilu. Dari laporan yang diterima Bawaslu itu juga diketahui bahwa praktik politik uang terjadi dalam bentuk pemberian uang dan bingkisan yang sebagian besar dilakukan oleh relawan. Hal ini menunjukkan betapa masih longgar dan banyaknya celah dari aturan-aturan yang dibuat untuk menjaga kontestasi politik ini agar terbebas dari praktik politik uang. Disamping itu, hal ini juga menunjukkan bahwa belum ada pengawasan ketat dan pemberian hukuman yang setimpal kepada pelaku politik uang. Undang-undang terkesan hanya dibuat tanpa ada pengawasan yang berarti dalam pelaksanaannya.


Kurang sadarnya masyarakat Indonesia akan budaya politik yang baik juga merupakan salah satu pendorong masih banyaknya kasus politik uang dalam pemilu. Masyarakat cenderung pasif akan adanya kontestasi politik dan merasa pesimis akibat tidak adanya calon yang dianggap memiliki kapabilitas untuk memanggul jabatan publik. Tingkat pendidikan juga sangat mempengaruhi daya kritis masyarakat dalam memilih seorang kepala daerah dan anggota legislatif. Calon-calon kepala daerah dan legislatif yang minim gagasan pun bisa jadi akan terpilih karena masyarakat tidak kritis akan figur yang menjadi calon. Terlebih lagi, masalah perekonomian yang dari tahun ke tahun masih terus membelenggu kehidupan membuat masyarakat merasa bahwa siapapun yang menjabat tidak akan membawa perubahan apapun dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu masyarakat sangat mudah sekali terpengaruh dan memilih calon hanya berdasarkan siapa yang mampu memberikan mereka uang lebih banyak saat kampanye. Sikap-sikap politik yang pragmatis seperti inilah yang semakin menumbuh suburkan budaya politik uang di masyarakat sehingga masyarakat menganggap bahwa politik uang adalah hal yang wajar dan seakan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari setiap adanya pemilu.


Kemudian, ada hubungan yang erat antara praktik politik uang dalam pemilu dengan banyaknya kasus korupsi oleh kepala daerah dan anggota legislatif. Praktik politik uang tidak hanya dilakukan oleh calon kepala daerah dan anggota legisltaif yang baru mencalonkan melainkan oleh pejabat petahana yang mencalonkan kembali. Rata-rata seorang calon kepala daerah maupun calon legislatif memiliki kekayaan sebesar 6-7 miliyar, sedangkan biaya pencalonan yang dibutuhkan sebesar 20-30 miliyar. Kekurangan modal untuk pencalonan inilah yang membuat pejabat petahana melakukan tindak pidana korupsi. Banyak sekali celah-celah yang bisa dimanfaatkan untuk korupsi. Diantaranya adalah APBD, pajak, proyek daerah, dan jual beli jabatan. Nilai uang yang besar dalam sektor-sektor yang rawan dikorupsi membuat Kepala Daerah tergiur untuk memanipulasinya. Sektor yang paling rawan dijadikan ladang korupsi adalah APBD. Biasanya korupsi APBD dilakukan bersama dengan anggota DPR. Uang hasil korupsi tersebut bisa jadi merupakan bagian yang akan digunakan untuk praktik politik uang demi mendapatkan suara yang tinggi dalam pemilu. 


Di media-media massa arus utama, kita sering sekali disuguhi kabar mengenai kepala daerah maupun anggota DPR yang ditangkap oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) akibat diduga melakukan tindak pidana korupsi. Menurut data yang diperoleh Kementerian Dalam Negeri, selama periode 2004-2017 sebanyak 313 Kepala Daerah ditangkap KPK akibat terjerat kasus korupsi. Menurut KPK, hingga tahun 2014 saja sudah ada 3600-an anggota DPRD yang tertangkap kasus korupsi dan kebanyakan adalah karena kasus suap APBD. Ini adalah jumlah yang banyak dan membuat kita merasa miris. Semangat menegakkan nilai-nilai demokrasi justru menimbulkan permasalah korupsi yang kronis.


Masih banyaknya kasus politik uang selama pemilu dan korupsi oleh Kepala Daerah maupun anggota legislatif membuat pemerintah harus merevisi undang-undang baik itu mengenai pengelolaan dana di daerah maupun aturan dalam penyelenggaraan pemilu yang bertujuan untuk mencegah dan menekan angka praktik politik uang dan korupsi yang tiap tahun semakin meningkat. Saat pemilu berlangsung, baik itu KPU maupun Bawaslu harus bekerja lebih keras dalam menyelidiki aliran dana peserta pemilu baik itu yang digunakan saat kampanye maupun sebelum dan sesudah masa kampanye agar semakin mempersempit celah yang bisa dimanfaatkan untuk melakukan tindakan politik uang. Disamping ini adalah tugas pemerintah untuk menerbitkan aturan dan memberi hukuman yang tegas untuk siapa saja yang terbukti melakukan politik uang dan korupsi, kesadaran masyarakat akan budaya politik yang baik juga harus ditingkatkan agar masyarakat dapat secara aktif berpartisipasi dalam kontes politik dan dapat melaporkan segala bentuk praktik politik uang. Selain itu, masyarakat harus kritis dalam mengawasi penyelenggaraan pemerintahan daerah.


Politik uang dalam penyelenggaraan pemilu merupakan sebuah tindakan yang sangat mencederai nilai-nilai demokrasi yang coba dibangun berdasarkan semangat reformasi. Kita tidak bisa menyalahkan satu pihak atas kronisnya permasalahan ini. Banyak hal yang dapat menjadi faktor mengapa praktik politik uang masih terus terjadi baik itu karena longgarnya aturan maupun kesadaran masyarakat akan budaya politik yang baik. Begitu pun dengan korupsi, sebuah tindak kejahatan yang sangat merugikan negara karena korupsi menyalahgunakan jabatan publik untuk memperkaya diri sendiri. Dua variabel; politik uang dan korupsi pejabat publik seperti lingkaran setan yang sulit diberangus karena dua hal tersebut saling mempengaruhi satu sama lain.


Pemilu seharusnya menjadi pesta demokrasi yang sebenar-benarnya. Yaitu pesta demokrasi yang para pemilihnya memiliki kesadaran politik, kebebasan bersuara dan dapat melahirkan sosok pemimpin yang tidak hanya amanah dalam menjalankan mandat rakyat namun juga pemimpin yang bersih dari korupsi. Korupsi oleh pejabat publik akan sangat merugikan rakyat karena uang rakyat lah yang menjadi ladang korupsi oleh pejabat. Oleh karena itu, kecerdasan masyarakat dalam pemilu sangat diperlukan karena imbas dari pemilihan kepala daerah ini akan kembali lagi ke masyarakat melalui kebijakan yang dibuat oleh pejabat terpilih. Jangan sampai masyarakat justru dirugikan oleh ketidakcerdasan mereka dalam memilih sosok pemimpin.
Perlu ada perbaikan dalam demokrasi di Indonesia khususnya pemilu yang lebih ketat secara pengawasan sehingga pemilu dapat berjalan baik dan terhindar dari segala bentuk politik uang dan kecurangan-kecurangan lainnya. Perlu adanya sistem pengawasan yang lebih ketat terhadap para peserta pemilu baik itu para calon maupun partai-partai pengusungnya terutama pada dana yang dipakai untuk kegiatan kampanye. Selama ini dana kampanye adalah salah satu tempat mengalir uang hasil korupsi kepala daerah dan anggota legislatif.


Selain membenahi aturan dan tata kelola pemilu, kita juga harus dapat mengedukasi masyarakat agar sadar terhadap politik dalam konteks ini adalah menyadarkan masyarakat pentingnya untuk memilih calon pemimpin dan wakil yang jujur. Kekurang pekaan masyarakat akan akibat dari politik uang selama pemilu membuat oknum-oknum terus melakukan tindakan melanggar hukum seperti tidak peduli akan banyaknya aturan dan beratnya hukuman yang mengancam. Menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi pemerintah serta partai politik dan elemen-elemen lainnya untuk mengedukasi dan menyadarkan masyarakat agar mampu memilih pemimpin secara rasional dan meninggalkan segala bentuk politik uang dan kecurangan-kecurangan lainnya dalam pemilu.


Ketika kita menyadari betapa banyak pun aturan-aturan perundang-undangan yang telah mengatur pemilu agar berjalan demokratis, jujur, dan adil, praktik praktik politik uang terus saja terjadi. Begitupun dengan aturan perundang-undangan yang mengatur pemerintahan daerah agar diselenggarakan secara akuntabel demi kesejahteraan masyarakat namun kasus-kasus korupsi pejabat pemerintah masih terus bermunculan dan justru mengalami tren peningkatan setiap tahun.


Jika sudah demikian, tampaknya kita harus mulai melihat bahwa korupsi dalam diri bangsa kita sebenarnya bukanlah permasalahan institusional melainkan masalah kultural. Korupsi adalah masalah mental bangsa kita, sebuah fenomena sosial yang benar-benar mengakar pada kehidupan masyarakat. Dalam skala yang kecil, tindak korupsi sering tanpa sadar kita lakukan, membudaya, dan kita anggap sebagai sesuatu yang wajar seperti memberi ‘uang pelicin’ kepada pejabat untuk memudahkan urusan-urusan yang berkaitan dengan administrasi. Hal tersebut membuktikan bahwa tindakan korupsi sering dimulai dari hal-hal yang remeh namun diabaikan karena dianggap biasa namun efek permasalahannya akan berlanjut ke kasus-kasus korupsi dalam skala besar. Sesatu yang buruk, salah, dan tidak pantas apabila dibiarkan terus terjadi akan dianggap sebagai sesuatu yang benar dan wajar.


Tentu tidak mudah untuk memberantas sebuah permasalahan yang telah menjadi fenomena kultural. Dalam masyarakat yang sangat permisif seperti di Indonesia, memberi ‘uang pelicin’ (baik berupa uang atau barang) saat berurusan dengan aparat atau pejabat mungkin dianggap sebagai hal yang biasa, padahal hal tersebut dapat dikategorikan sebagai sebuah gratifikasi. Kasus-kasus korupsi oleh pejabat pemerintah dalam skala yang besar sering berkaitan dengan gratifikasi.

Korupsi harus diinternalisasi dalam mental seluruh elemen bangsa sebagai sebuah musuh bersama yang besar dan destruktif terhadap perkembangan kemajuan negara. Pendidikan politik yang baik juga setidaknya akan menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menghindari segala bentuk politik uang selama pemilu yang berimbas pada kasus korupsi pejabat publik. Disamping itu, kita harus terus menguatkan instrumen-instrumen penegakkan hukum untuk mencegah sekaligus menindak segala bentuk korupsi. Ketika ada sinergi dari seluruh elemen pemerintahan, elit politik dan masyarakat untuk mencegah korupsi di berbagai lini, maka budaya anti-korupsi akan terinternalisasi dalam diri kita sebagai bangsa yang menginginkan sebuah kemajuan.


Pemilu sebagai manifestasi dari demokrasi merupakan tuntutan rakyat yang digaungkan dalam gerakan reformasi hampir dua dekade yang lalu. Namun, jatuhnya rezim orde baru dan berjalannya era reformasi tidak begitu saja menghapus masalah-masalah yang kronis dan justru tidak kalah pelik. Politik uang dan korupsi pejabat publik adalah sebagian dari masalah-masalah besar yang negara kita hadapi saat ini. Tentu butuh proses panjang dan komitmen yang kuat dari seluruh elemen bangsa untuk benar-benar mau saling sadar-menyadarkan agar selalu bersikap jujur dalam hal sekecil apapun. Merupakan tugas pemerintah juga sebagai pembuat kebijakan untuk menguatkan instrumen hukum agar kasus-kasus politik uang dan korupsi tidak terus terjadi dan mengorbankan kepentingan rakyat. Bagaimanapun, jangan sampai demokrasi justru membuat rakyat hanya menjadi komoditas bagi elit yang haus kekuasaan.

Referensi:

Sri Wahyu Aningsih, Tantangan Dalam Penanganan Dugaan Praktik Politik Uang Pada Pilkada Serentak 2017, Jurnal Masalah - Masalah Hukum, Jilid 45 No. 1, Januari 2014, Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, hlm. 4


Ihsanuddin, 25 September 2014, KPK: Anggota DPRD Yang Terjerat Korupsi 3600-an Orang, tersedia pada web: https://nasional.kompas.com/read/2014/09/25/22533641/KPK.Anggota.DPRD.yang.Terjerat.Korupsi.3.600.Orang. Diakses tanggal 29 Mei 2018 pukul 20.08 WIB.


Adnan Topan Husodo, tanpa tanggal, Mengantisipasi Maraknya Korupsi Pemilu, tersedia pada web: https://www.antikorupsi.org/id/news/mengantisipasi-maraknya-korupsi-pemilu, diakses tanggal 29 Mei 2018 pukul 01.49 WIB


Lutfy Mairizal Putra, 14 Februari 2017, Bawaslu Temukaan 600 Dugaan Politik Uang Pada Pilkada Serentak 2017,  pada:http://nasional.kompas.com/read/2017/02/14/19334401/bawaslu.temukan.600.dugaan.politik.uang.pada.pilkada.2017, diakses tanggal 29 Mei 2018 pukul 19.21 WIB

Bilal Ramadhan, 5 April 2018, Survei: Masih Banyak Yang Tertarik Politik Uang, tersedia pada web: http://m.republika.co.id/berita/nasional/politik/18/04/05/p6pyvy330-survei-masih-banyak-yang-tertarik-politik-uang diakses tanggal 29 Mei 2018 pukul 19.00 WIB


Iza Rumestan, Korelasi Perilaku Korupsi Kepala Daerah Dengan Pilkada Langsung,, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 14, No. 2 Mei 2014. Palembang: Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, hlm. 352


Janpatar Simamora, Eksistensi Pemilukada Dalam Rangka Mewujudkan Pemerintahan Daerah Yang Demokratis,     Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 23 No. 1, Februari 2011, Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM, hlm. 229.


Fana Suparman, Sabtu, 9 Desember 2017, Mahalanya Biaya Politik Jadi Faktor Pendorong   Korupsi di Daerah, tersedia pada web: http://www.beritasatu.com/hukum/467545-mahalnya-biaya-politik-jadi-faktor-pendorong-korupsi-di-daerah.html, diakses pada tanggal 29 Mei 2018 pukul 01.40 WIB

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun