Berbicara LGBT bukan lagi suatu hal yang asing dalam benak manusia, yang mana LGBT ini bisa kita simpulkan sebagai penyimpangan seksual, yang mana ini sebuah pelanggaran terhadap hak kodrati manusia yang secara fundamental telah ditetapkan oleh Tuhan yang maha Esa. Permasalahan mengenai lgbt ini sering kali dilibatkan dengan HAM padahal hal tersebut bagi saya merupakan sebuah paradoks yang tidak bisa di normalisasi, HAM adalah sebuah hak kodrati manusia yang diberikan oleh Tuhan dan yang ingin saya kritik adalah bahwa sanya perilaku Lgbt secara fundamental sudah melanggar pengertian diatas. Selain itu fenomena Lgbt ini didukung oleh deklarasi HAM secara universal dan reformasi politik dan demokrasi yang sering disalahpahami sebagai proses untuk mengekspresikan diri.
Saya berpandangan kaum lgbt ini masuk keruang lingkup kesesatan berpikir yang mana dijelaskan dalam kesesatan komposisi dan divisi, dimana kaum Lgbt ini gagal memahami arti dari HAM atau kebebasan itu sendiri sehingga mereka mengeneralkan Lgbt adalah sebuah hal yang beresensi pada hak asasi manusia, yang benar tujuan itu sendiri untuk melindungi dan memberikan hak kepada manusia akan tetapi tentunya hal tersebut pun butuh komponen lain yang harus dijadikan sebuah demarkasi atau pembatas yang saya bicarakan disini bisa bentuk hukum maupun norma-norma yang timbul dari akal budi dan hati nurani manusia mengapa demikian, karena baik itu akal budi dan hati nurani menjadi sebuah alat fundamental yang menjadi pertimbangan antara yang baik dan buruk.
Hak asasi Manusia adalah sebuah paham yang ber urgensi pada humanisme yang memandang bahwa segala kepentingan dan kehendak manusia itu harus dihargai dan juga dihormati, akan tetapi menjadi permasalahan lain apabila hal tersebut malah menyimpang dan menjadi problematika yang berkepanjangan sehingga penyimpangan tersebut harus diredam dan juga dihilangkan agar hakikat HAM tetap asri dan tidak ternodai dengan kepentingan dan ego manusia sendiri.
Hal yang perlu kita ketahui saat digaungkannya paham liberalisme di eropa Kaum Lgbt ini berbondong-bondong untuk mendapat legetimasi hukum dengan berlandaskan dengan hak asasi manusia mereka menyangkut pautkan hal tersebut dengan hak mereka untuk secara bebas menentukan hidupnya, akan tetapi ada sebuah kekeliruan dan absurditas yang mana mereka tidak mampu memahami subtansi Hak asasi manusia itu sendiri, hal ini terjadi jika memakai pandangan sigmunt freud bahwa sanya pengetahuan manusia terbatas dan ketidaktauan manusia sangat luas hal tersebut disebatkannya oleh keterbatasan manusia dalan mendapat pengetahuan entah dari pengalaman juga intusi mereka dari hal tersebut kemudian diselimuti dengan ketidak sadaran dalam diri manusia manurut gustav de jung hal tersebut adalah suatu kondisi dimana manusia kehilangan jati dirinya, yang mana bertumpu pada pikiran yang bias sehingga tindakannya menyebabkan raga tak terkontrol dan berbuat impulsif dan dari situ lah Paham Lgbt ini mulai memengaruhi manusia.
Hak Asasi Manusia lahir tidak lain untuk memberikan kebebasan dan perlindungan pada manusia itu sendiri, berbicara kebebasan muncul dua perspektif yaitu dari kaum liberal dan spiritual yang mana kaum liberal ini memandang kebebebasan seluas-luasnya, akan tetapi kaum spiritual memandang bahwa sanya kebebasan manusia harus disertai dengan kontrol atau demarkasi sehingga hal tersebut tidak malah menjadi suatu hal yang buruk. Saya sependapat dengan kaum spiritual karena berpegang pada pendapat dunguit bahwa sanya manusia itu adalah mahluk rentan dan juga kurang akan pemahaman sehingga dengan adanya kebebebasan seluas-luasnya itu hanya akan menimbulkan keburukan, selain itu Thomas sowell mengatakan bahwa manusia adalah mahluk yang egois dan mempunya impuls berbahaya sehingga perlunya ada batasan agar perilaku tersebut bisa dikendalikan. berangkat dari pendapatnya kant dia mengatakan kebebasan harus disertai keluhuran budi sehingga dapat menghasilkan kebahagian, jika disangkut pautkan pada kasus Lgbt ini keluhuran budi itu tidak ada pada kaum Lgbt karena dengan leluasanya mereka melanggar hukum yang ditetapkan oleh tuhan.
Berbicara HAM perspektif liberal yang mengatakan kebebebasan seluas-luasnya pada dasarnya kebebasan seluas-luasnya tidak akan bisa tercapai, berpegang pada pendapat Henri Bergson dalam problematik kebebasan dia mengatakan bahwa sampai kapanpun manusia tidak akan pernah bisa mendapatkan kebebasan yang seutopis yang dijanjikan liberalisme karena pada esensinya selagi manusia mempunyai tuntutan dalam dirinya kebebasan itu tidak dapat dicapai atau diwujudkan manusia selalu akan dibatasi entah itu secara intern ataupun ekstern, intern bebicara dirinya dan ekstern bebicara tuntutan yang ada pada orang lain.
Jika memang Lgbt ini mereka pandang baik dan benar saya akan mencoba merekontruksi apa hakikat dari yang benar dan juga baik tidak hanya yang menimbulkan kebahagian atapun kesejahteraan, berangkat dari pendapat seorang filsuf imanuel kant beliau berpendapat bahwa sanya hal yang baik dan benar ini merupakan persoalan moralitas yang sesuatu dianggap benar atau baik jika didalamnya terdapat keluhuran budi yang disertai kebahagian, yang mana kebahagiaan tanpa keluhuran budi adalah kezaliman dan keluhuran budi tanpa kebahagian adalah kesia-sian.
kita ketahui bersama bahwa sanya manusia adalah mahluk yang berakal sehingga dengan itu manusia paham antara yang baik dan buruk bagi dirinya, akan tetapi pada kasus Lgbt ini saya katakan ini bukan sebuah perilaku normal, saya tak ingin mengatakan bahwa manusia ini tidak berakal akan tetapi lebih tepatnya kejiwaannya manusia itu sendiri yang terganggu, berangkat dari seorang filsuf rene descartes dia menjelaskan bahwa akal itu terdapat pada otak hal itu berada pada kelenjar pilenial yang mana kelenjar ini bisa membengkok karena adanya suatu gangguan pada jiwa, sehingga saat kelenjar ini membengkok memiliki kemungkinan menimbulkan suatu pola pikir dan tindakan yang buruk.
LGBT PERSPEKTIF KONSTITUSI INDONESIA
Indonesia adalah negara yang begitu menolak lgbt karena hal tersebut sangat menyimpang dari moral, ahlak dan agama akan tetapi walaupun begitu sering terjadi sebuah perdebatan terutama sering disangkut pautkan pada Undang-Undang no 39 tahun 1999, Secara garis mengatakan hak yang melekat dalam setiap insan manusia merupakan sebuah anugerah Tuhan yang maha esa yang harus dijaga, dihormati serta dijunjung tinggi.
Jika dikaji lagi ada sebuah kosakata makhluk Tuhan yang mana tuhan menciptakan manusia berpasangan-pasangan yaitu antara laki-laki dengan perempuan begitupun sebaliknya, akan tetapi kaum Lgbt ini malah melanggar ketentuan itu, dan saya bisa katakan bahwa sanya walaupun seperti itu kita harus tetap menghormatinya sebagai manusia akan tetapi secara tindakan atau pelakuan hal itu tidak bisa kita hormati apabila memang kita menghormati hal tersebut, tidak lain kitapun secara tidak langsung menormalisasi perbuatannya tersebut.
Berbicara HAM dalam konstitusi negara Indonesia sendiri maka kita juga seharusnya berbicara mengenai Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 yang mana pasal ini mengalami dua kali amandemen, pada awalnya pasal ini hanya memperbincangkan Ham dalan ruang sempit yaitu soal kebebasan berkumpul dan berserikat serta juga kebebasan mengeluarkan pendapat, akan tetapi dalam amandemen kedua-nya sendiri terjadi suatu pemekaran substansi yaitu pada pasal 28 sendiri terbagi dari pasal 28A-28J, akan tetapi saya hanya akan membahas mengenai pasal 28 J dengan Rasionalitas memiliki relevansi tehadap LGBT ini sendiri.
Sebuah alibi tersebar mengenai Lgbt ini yang mana dengan berlindung dibawa Hakikat Hak Asasi Manusia mereka meminta sebuah mengakuan juga keadilan kepada pemerintah dan juga masyarakat. Akan tetapi pemerintah dan negara tidak bisa serta merta untuk mengamini hal itu karena menurut Muhammad junaidi pemerintah tidak bisa melakukan suatu tindakan bila tidak ada hukum atau ketentuan yang mengaturnya serta sekaligus menjadi acuan dalam tindakannya itu hal itu dipandang akan beresiko tinggi bahkan dapat menyebabkan fraktualisasi dalam roda pemerintahan.
Mari kita dengan sesama memahami isi dari Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 J yang menyatakan:
Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan tujuan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.
Hipotesis yang bisa kita ambil bahwa hak manusia memanglah harus kita hormati, hargai dan juga kita pahami, akan tetapi berbicara Ham dalam Perspektif konstitusi Indonesia sendiri mengenal yang namanya sebuah demarkasi baik itu dalam bentuk akhlak, moral juga agama karena tidak dapat dipungkiri demarkasi atau batasan tidak lain terbentuk karena kebiasaan masyarakat Indonesia sendiri yang membentuk sebuah kebiasaan, kepercayaan dan terakhir adalah hukum atau aturan.
Kemudia hal ini diperkuat dengan adanya Undang-undang no 39 tahun 1999 pasal 70 secara singkatnya adalah saat menjalankan hak dan kebebasan hal itu harus didasarkan pada Undang-Undang dengan tujuan segala tindakannya bisa terjamin juga menimpulkan penghormatan bagi orang sekitarnya agar penjapaian keadilan dan kesejahteraan serta tatanan kehidupan demokratis dapat diwujudkan.
Dengan adanya deklarasi dari Undang-undang diatas kita semua harus tahu bahwa sanya Lgbt ini adalah sebuah penyimpangan moral, akhlak dan juga agama yang mana jika dipertahankan akan membuat sebuah distorsi dan juga asimilasi tidak hanya pada perilaku masyarakat Indonesia juga terhadap budaya yang mana kebudayaan asli Indonesia akan sedikit demi sedikit bergeser pada kehancuran serta nilai moral yang akan menjadi redup di masyarakat itu sendiri.
Kita tidak bisa menormalisasikan hal yang tendensinya buruk ataupun menyimpang karena mau apapun pembenarannya periku menyimpang ini akan selalu berdampak buruk, dan yang harus kita ketahui lagi pada akhirnya secara garis besar Lgbt ini menjadi indikasi terhadap terganggunya jiwa seseorang yang mana jika kita liat dari teori Rene Descartes jiwa ini tidak hanya mempengaruhi pikiran tapi juga berpengaruh pada raga sehingga dari hal tersebut manusia itu bisa dikatakan tidak normal, sebuah pemetaan singkat bahwa sanya manusia dikatakan normal ditilik dari beberapa hal: fisik, spiritual, mental, dan sosial.
Jika kita lihat dari aparatur negara lain adapun Mahkamah Agung yang sangat menolak bahwasanya kelompok Lgbt ini tidak diperbolehkan untuk masuk dan bekerja dalam instansi pemerintah dengan alasan akan membawa pengaruh buruk dan juga distorsi dalam kelembagaan itu sendiri, Anggota Komisi II DPR RI Sodik Mudjahid pada parlementaria lgbt ini sangatlah bertentangan dengan pancasila yang tidak hanya menjadi ideologi negara Indonesia juga merupakan sebuah grunorm yang mana segala hukum yang ada haruslah seirama dengan hal itu. terutama pada sila ke satu yaitu Ketuhanan yang maha esa. Kemudian bila muncul suatu gagasan yang menyangkut pautkan bahwa dalam sila kedua memiliki urgensi manusia yang adil dan beradab, sehingga Lgbt ini adalah manifestasi dari sila kedua itu yang mana mereka mempunyai pilihannya sendiri setidaknya akan jauh beradap abila siapapun tidak mencampuri ketetapannya itu, akan tetapi hal ini sangat mudah didestruktif karena sila pertama memiliki kedudukan yang lebih tinggi jadi segala implementasi apapun dari sila ke dua sampai kelima harus didasarkan pada sila pertama terlebih dahulu.
Persoalan Lgbt adalah suatu hal yang pelik dimana selalu muncul pro dan kontra, orang yang kontra ini sendiri selalu mengaitkannya pada substansi pasal 28 dan pro selalu mengaitkannya dengan Hakikat Ham itu sendiri, yang perlu diketahuinya adalah kita hidup dalam tatanan wilayah negara Indonesia sehingga sudah semestinya sebagai masyarakat kita harus menaati dan mengikuti aturan yang sudah berlaku tersebut tanpa terkecuali, akan tetapi perluasan perdebatan mengenai Lgbt ini menjadi meluas setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XIV/2016 mengenai pengujian undang-undang nomor 1 tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana atau kitab undang-undang hukum pidana juncto undang-undang nomor 73 tahun 1958 tentang menyatakan berlakunya undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang peraturan hukum pidana atau kitab undang-undang, muncul sebuah alibi putusan MK tersebut cenderung melegalkan Lgbt akan tetapi ada juga yang berpendapat bahwa putusan itu menyatakan bahwa MK tidak memiliki wewenang untuk membuat tindak pidana baru.
Dalam kekisruhan tersebut muncullah penegasan oleh Mahkamah Konstitusi putusan itu merupakan open legal policy pembentukan undang-undang dengan tujuan mengembalikan apa yang telah dikonkritisasi oleh pemerintah kolonial Belanda melalui Wetboek van Strafrecht selama ratusan tahun, kemudian empat hakim dissenter berpendapat bahwa secara fundamental Mahkamah Konstitusi tidak memperluas ruang lingkup zina dan Lgbt akan tetapi juga hal ini merupakan sebuah penolakan mengenai perumusan delik atau tindak pidana baru karena hal ini mengasimilasi kewenangan legislatif dalam membentuk undang-undang sebagai positive legislature secara esensinya sudah tak berdasar.
Kembali pada Hakim dissenter tadi mereka menyatakan Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan pada Ketuhanan juga merupakan jaminan bagi para pemeluk-pemeluknya, mengakui dan menghormati integrasi masyarakat adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang hayat yang terlandaskan pada NKRI serta substansinya yaitu undang-undang, hal ini menegaskan bahwa sanya seluruh tindakan masyarakat Indonesia haruslah berpacu pada nilai Ketuhanan serta hukum yang hidup didalam masyarakat (hukum adat), sehingga jika ditarik kesimpulan Lgbt ini sudah pasti sangatlah bertentangan dengan hal yang sudah dijelaskan tadi.
Kemudian pada pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007, berdasarkan original intens dan penafsiran mulai dari pasal 28A-28I haruslah seirama dengan ketetapan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 J ayat (2). Munculah konklusi bahwasanya Hak Asasi Manusia yang tidaklah bertentangan dengan islam masih memiliki demarkasi sehingga bagaimana apabila Hak Asasi Manusia itu bertentang negara hal tersebut, sudahlah pasti hal itu tidak bisa berjalan atau direalisasikan.
DAFTAR PUSTAKA
Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Prenadamedia group.2018) hlm 156-157
Haryanta, Agung Tri. Sujatmiko, Eko. Kamus Sosiologi, (Surakarta. Aksara SInergi Media. 2012), hlm. 85
Oetomo, Dede.Memberi Suara Bagi Yang Bisu, (Yogyakarta: Galang Printika. 2001), hlm. 6
George stuart Fullerton, pengantar filsafat (Yogyakarta: Indoliterasi,2021) hlm.279
fakultas hukum universitas di ponegoro Robi Yansyah, “GLOBALISASI LESBIAN, GAY, BISEKSUAL, DAN TRANSGENDER (LGBT) PERSPEKTIF HAM DN AGAMA DALAM LINGKUP HUKUM DI INDONESIA. 2018
Ainur Rahman Hidayat, filsafat Berfikir(Pamekasan: Duta Media), 2018
Stephen Palmquis, Pohon Filsafat (Yogyakarta : Pustaka pelajar), 2007
Muhammad junaidi, Ilmu Negara (jawa timur: Setara Press), 2016
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,“Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia,” 1999
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28J,''t.t.
Eka Nam Sihombing, Perilaku LGBT Dalam Perspektif Konstitusi Negara Republik
Indonesia dan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-XIV/2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H