Persoalan Lgbt adalah suatu hal yang pelik dimana selalu muncul pro dan kontra, orang yang kontra ini sendiri selalu mengaitkannya pada substansi pasal 28 dan pro selalu mengaitkannya dengan Hakikat Ham itu sendiri, yang perlu diketahuinya adalah kita hidup dalam tatanan wilayah negara Indonesia sehingga sudah semestinya sebagai masyarakat kita harus menaati dan mengikuti aturan yang sudah berlaku tersebut tanpa terkecuali, akan tetapi perluasan perdebatan mengenai Lgbt ini menjadi meluas setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XIV/2016 mengenai pengujian undang-undang nomor 1 tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana atau kitab undang-undang hukum pidana juncto undang-undang nomor 73 tahun 1958 tentang menyatakan berlakunya undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang peraturan hukum pidana atau kitab undang-undang, muncul sebuah alibi putusan MK tersebut cenderung melegalkan Lgbt akan tetapi ada juga yang berpendapat bahwa putusan itu menyatakan bahwa MK tidak memiliki wewenang untuk membuat tindak pidana baru.
Dalam kekisruhan  tersebut muncullah penegasan oleh Mahkamah Konstitusi putusan itu merupakan open legal policy pembentukan undang-undang dengan tujuan mengembalikan apa yang telah dikonkritisasi oleh pemerintah kolonial Belanda melalui Wetboek van Strafrecht selama ratusan tahun, kemudian empat hakim dissenter berpendapat bahwa secara fundamental Mahkamah Konstitusi tidak memperluas ruang lingkup zina dan Lgbt akan tetapi juga hal ini merupakan sebuah penolakan mengenai perumusan delik atau tindak pidana baru karena hal ini mengasimilasi kewenangan legislatif dalam membentuk undang-undang sebagai positive legislature secara esensinya sudah tak berdasar.Â
Kembali pada Hakim dissenter tadi mereka menyatakan Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan pada Ketuhanan juga merupakan jaminan bagi para pemeluk-pemeluknya, mengakui dan menghormati integrasi masyarakat adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang hayat yang terlandaskan pada NKRI serta substansinya yaitu undang-undang, hal ini menegaskan bahwa sanya seluruh tindakan masyarakat Indonesia haruslah berpacu pada nilai Ketuhanan serta hukum yang hidup didalam masyarakat (hukum adat), sehingga jika ditarik kesimpulan Lgbt ini sudah pasti sangatlah bertentangan dengan hal yang sudah dijelaskan tadi.
Kemudian pada pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007, berdasarkan original intens dan penafsiran mulai dari pasal 28A-28I haruslah seirama dengan ketetapan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 J ayat (2). Munculah konklusi bahwasanya Hak Asasi Manusia yang tidaklah bertentangan dengan islam masih memiliki demarkasi sehingga bagaimana apabila Hak Asasi Manusia itu bertentang negara hal tersebut, sudahlah pasti hal itu tidak bisa berjalan atau direalisasikan.
DAFTAR PUSTAKAÂ
Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Prenadamedia group.2018) hlm 156-157
Haryanta, Agung Tri. Sujatmiko, Eko. Kamus Sosiologi, (Surakarta. Aksara SInergi Media. 2012), hlm. 85
Oetomo, Dede.Memberi Suara Bagi Yang Bisu, (Yogyakarta: Galang Printika. 2001), hlm. 6
George stuart Fullerton, pengantar filsafat (Yogyakarta: Indoliterasi,2021) hlm.279
fakultas hukum universitas di ponegoro Robi Yansyah, “GLOBALISASI LESBIAN, GAY, BISEKSUAL, DAN TRANSGENDER  (LGBT)  PERSPEKTIF  HAM DN AGAMA DALAM LINGKUP HUKUM DI INDONESIA. 2018
Ainur Rahman Hidayat, filsafat Berfikir(Pamekasan: Duta Media), 2018