Tulisan ini adalah murni kegelisahan pribadi..
Bukan untuk memojokkan profesi orang lain, apalagi iri dan dengki..
Saya hanya ingin mencari solusi terbaik..
Agar semua bisa berjalan seirama..
Mohon maaf bagi yang tidak berkenan..
Suatu hari di suatu puskesmas..
p (pasien) : Selamat Siang Dok..
d (drg) : Selamat Siang Ibu, silahkan masuk.. ada yang bisa saya bantu?
p : (sambil mengeluarkan secarik kertas) Iya Dok, ini ada surat dari tukang gigi..
d : Tukang gigi?? (kebingungan) Ada apa ya Bu?
p : Iya Dok, kemarin saya ke tukang gigi mau pasang kawat. katanya ada gigi yang harus dicabut. Tapi tukang giginya ga bisa cabut, makanya saya disuruh kemari buat dicabut giginya oleh dokter buat dipasang kawat sama tukang gigi.. (sembari menyodorkan surat dari tukang gigi)
d : (menerima surat dengan wajah bengong) ?????
Selain itu di tempat praktik lain..
Seorang pasien perempuan muda berinisial R datang mengeluh gigi depan atas dirasa terlalu maju ke depan. Pasien disarankan oknum tukang gigi untuk datang ke dokter gigi untuk dibetulkan posisi keempat gigi anterior tersebut. Dari hasil anamnesa diketahui, pasien sempat dirawat orthodonti oleh seorang oknum tukang gigi kurang lebih 2 bulan yang lalu di dekat rumahnya. Setelah pemeriksaan dalam mulut (intra oral) diketahui bahwa akar keempat gigi depan atas R sudah terlihat di langit-langit mulut, berbentuk benjolan keras berwarna putih panjang.
Ya, itulah fenomena yang terjadi sekarang.. dengan dimenangkannya Judicial Review yang diajukan oleh tukang gigi oleh M.K, terlihat menjamurnya praktek tukang gigi di Indonesia. Tapi, mohon maaf sebelumnya disini saya tidak ada maksud apa-apa, saya hanya ingin mencari win-win solution agar semua dapat berjalan dengan baik.
Kasus diatas merupakan dilema untuk kami dokter gigi. Banyak sekali pasien post perawatan tukang gigi yang datang ke puskesmas atau ke praktek dokter gigi meminta tolong untuk diperbaiki giginya akibat dari hasil perawatan tukang gigi yang kurang baik. Ini yang membuat kami sedih, disatu sisi kami harus menolong pasien tersebut, tetapi di satu sisi kami tidak bisa menolong karena tingkat keparahan kasusnya sudah jauh diatas kompetensi kami.
Keberadaan tukang gigi dalam sejarahnya merupakan pelopor didirikannya Fakultas Kedokteran. Bermula dari tempat kursus tukang gigi yang didirikan oleh DR Moestopo, kemudian berubah menjadi Universitas DR Moestopo (Beragama).
Pada saat itu praktik dokter gigi sebenarnya sudah ada, tapi sangat terbatas dan hanya melayani orang Eropa yang tinggal di Surabaya. Beranjak dari kondisi itulah, lantas penguasa kolonial Belanda terdorong untuk mendirikan lembaga pendidikan kedokteran gigi STOVIT (School tot Opleiding van Indische Tandartsen) di Surabaya, Jawa Timur, tahun 1928. Waktu itu, angkatan pertamanya berjumlah sekitar 21 orang. 5 Mei 1943, Jepang mendirikan Ika Daigaku Sika Senmenbu (Sekolah Dokter Gigi) di Surabaya. Sekolah ini didirikan untuk memenuhi kebutuhan tenaga dokter gigi berkualitas dalam waktu singkat. Sekolah ini dibawah kepemimpinan Dr Takeda, sebelum diganti oleh Prof Dr Imagawa. Di antara staf pengajar berkebangsaan Jepang, terdapat beberapa staf pengajar warga Indonesia, satu di antaranya adalah Dr R Moestopo.
Moestopo inilah yang kali pertama mendirikan Kursus Kesehatan Gigi di jakarta, pada tahun 1952, meski praktik tukang gigi (dukun gigi) yang keahliannya diperoleh secara turun-menurun itu sudah lebih dulu ada di Indonesia. Waktu itu Moestopo berpangkat Kolonel dan menjabat Kepala Bagian Bedah Rahang RSPAD Gatot Subroto, mengelola. Kursus ini berlangsung selama dua jam, pukul 15.00 WIB – 17.00 WIB. Tujuan didirikannya kursus tersebut untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan tukang gigi di seluruh Indonesia yang jumlahnya saat itu hampir 2.000 orang. Karena tak mengherankan bila banyak tukang gigi senior di negeri ini hasil didikan beliau.
Tahun 1957, kursus tersebut dikembangkan menjadi KURSUS TUKANG GIGI INTELEK “DR. MOESTOPO.” Siswa yang menimba ilmu di tempat kursusnya itu harus lulus SMP dan menjalani pendidikan minimal satu tahun. Kemudian di tahun 1958, Dr Moestopo setelah menimba ilmu dari Amerika Serikat, mendirikan Dental College Dr Moestopo. Lembaga pendidikannya ini mendapat pengakuan resmi dari Departemen Kesehatan. Atas dedikasinya itulah Presiden Pertama RI, Ir Soekarno memberikan penghargaan khusus kepada beliau yang dianggap berhasil mendidik dan menelurkan tenaga kesehatan gigi yang sangat terjangkau oleh rakyat kecil.
Dari tempat kursusnya inilah yang kemudian menjadi cikal bakal Universitas Dr Moestopo Beragama. Jadi, melihat perjalanan sejarahnya sangat jelas terlihat betapa keberadaan tukang gigi tidak bisa dilepaskan dari sejarah perawatan gigi modern di Indonesia.
Dengan dilegalkannya praktik tukang gigi, turut pula melegalkan praktik "illegal" tukang gigi. Tidak tanggung-tanggung, tukang gigi melakukan berbagai macam pekerjaan spesialistik seperti pemasangan gigi tiruan cekat, penambalan dengan komposit, bahkan melakukan perawatan orthodonti. Merujuk pada PMK No. 39 Tahun 2014 tentang Pembinaan, Pengawasan dan Perizinan, Pekerjaan Tukang gigi pasal 1 disebutkan:
"tukang gigi adalah setiap orang yang mempunyai kemampuan membuat dan memasang gigi tiruan lepasan"
dan pada pasal 6 ayat 2 disebutkan bahwa :
"pekerjaan tukang gigi yang dimaksud pada ayat (1) hanya berupa membuat gigi tiruan lepasan sebagian dan/atau penuh yang terbuat dari bahan heat curing acrylic yang memenuhi ketentuan persyaratan kesehatan"
Dari kasus di atas, terlihat tukang gigi melakukan pekerjaan di luar kewenangannya yaitu melakukan perawatan orthodonti. Sebetulnya, dalam hal ini tukang gigi dapat dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, pencabutan izin sementara dan pencabutan izin tetap sesuai dengan Pasal 11 pada PMK No. 11 Tahun 2014.
Tetapi sayangnya, penertiban yang seharusya dilakukan oleh Kementrian Kesehatan belum berjalan dengan baik. Sehingga banyak masyarakat yang menjadi korban perawatan tukang gigi diluar kewenangannya.
Dalam hidup selalu ada sisi positif dan sisi negatif, sehingga terlihat betapa pentingny peran pemerintah dalam mensosialisasikan hal tersebut agar masyarakat mengetahui apa kebaikan dan kekurangan dirawat oleh tukang gigi begitu pula dirawat oleh dokter gigi.
Pada intinya, kami selaku dokter gigi tidak masalah akan kegiatan tukang gigi yang melakukan pekerjaan diluar kewenangannya.
Tapi mohon maaf Pak,
Dimohon sekali kalau ada masalah pada pasien yang telah Yth. Bapak Tukang Gigi lakukan perawatan tolong diselesaikan dengan tuntas, jangan malah melimpahkan kepada kami dokter gigi yang tidak tahu apa-apa..
Sedih rasanya kerja sebagai dokter PTT tidak digaji selama 2 bulan..
Tetapi lebih sedih lagi rasanya apabila ada pasien yang datang akibat perawatan oknum tukang gigi diluar kewenangannya ke tempat praktek kami minta tolong untuk diperbaiki giginya, tetapi saya tidak bisa menolong karena keparahan kasusnya sudah diluar kompetensi saya
Merujuk kepada Black’s Law Dictionary dan Coughlin’s Law Dictionary mengenai malpraktik, kelalaian tukang gigi dalam melakukan pekerjaannya tidak dapat dikategorikan sebagai malpraktik, karena profesi tukang gigi mendapat ilmu secara “herediter” atau turun temurun dan otodidak, sehingga mereka tidak mempunyai kompetensi yang mumpuni berbeda dengan dokter gigi yang harus menempuh jalur secara professional.
Maka kelalaian tukang gigi hanya dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum.
Disinilah pentingnya fungsi pemerintah sebagai pengawas. Dalam hal ini, fungsi pemerintah dirasakan sangat kurang..
Sehingga menurut saya, win-win solution yang bisa dilakukan adalah :
1. Perlu diadakan pengkajian ulang PMK No. 39 tahun 2014 dalam hal pemberian sanksi. Karena pada kenyataanya sanksi administratif saja tidak akan membuat tukang gigi jera dalam melakukan perawatan di luar kewenangannya. Kebanyakan korban dari tukang gigi adalah pasien menengah kebawah, memang tarif perawatan yang diberikan oleh tukang gigi jauh lebih murah daripada yang diberikan dokter gigi. Tetapi apabila sudah terjadi kasus yang tidak diinginkan, maka biaya yang dikeluarkan akan jauh lebih mahal daripada biaya perawatan di dokter gigi.
2. Dengan melakukan pembinaan, perizinan dan pengawasan. Bentuk pengawasan inilah yang dirasakan masih belum berjalan dengan baik, sehingga terlihat maraknya tukang gigi yang melakukan perawatan di luar kewenangannya yang menyebabkan kerugian pada pasien tanpa takut dikenai sanksi sesuai dengan yang telah diatur dalam Permenkes No. 39/2014
Dalam hal ini perlu dilakukan kerjasama antar Kementrian Kesehatan, PDGI dan perkumpulan Tukang Gigi sendiri dalam melakukan pengawasan, selain itu diberi payung hukum yang kuat. Sehingga pengawasan terhadap praktik tukang gigi akan berjalan lebih baik demi meningkatnya derajat kesehatan masyarakat dan tidak timbul lagi korban dari oknum tukang gigi.
Sekali lagi, tulisan ini saya buat tidak ada maksud apa-apa di dalamnya..
Saya hanya ingin mencari solusi terbaik, agar seluruh masyarakat Indonesia dapat terpenuhi hak-nya sesuai dengan yang tercantum dalam UUD 1945..
Mohon maaf apabila banyak kesalahan..
And last but not least.. Happy Ramadhan Kareem =)
Selamat menunaikan ibadah puasa, semoga Ramadhan tahun ini kita dapat beribadah leih baik dari tahun kemarin..
Aamiin aamiin YRA
Dari seorang ibu rumah tangga yang memiliki kerja sampingan sebagai dokter gigi..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H