p : Iya Dok, kemarin saya ke tukang gigi mau pasang kawat. katanya ada gigi yang harus dicabut. Tapi tukang giginya ga bisa cabut, makanya saya disuruh kemari buat dicabut giginya oleh dokter buat dipasang kawat sama tukang gigi.. (sembari menyodorkan surat dari tukang gigi)
d : (menerima surat dengan wajah bengong) ?????
Â
Selain itu di tempat praktik lain..
Seorang pasien perempuan muda berinisial R datang mengeluh gigi depan atas dirasa terlalu maju ke depan. Pasien disarankan oknum tukang gigi untuk datang ke dokter gigi untuk dibetulkan posisi keempat gigi anterior tersebut. Dari hasil anamnesa diketahui, pasien sempat dirawat orthodonti oleh seorang oknum tukang gigi kurang lebih 2 bulan yang lalu di dekat rumahnya. Setelah pemeriksaan dalam mulut (intra oral) diketahui bahwa akar keempat gigi depan atas R sudah terlihat di langit-langit mulut, berbentuk benjolan keras berwarna putih panjang.
Â
Ya, itulah fenomena yang terjadi sekarang.. dengan dimenangkannya Judicial Review yang diajukan oleh tukang gigi oleh M.K, terlihat menjamurnya praktek tukang gigi di Indonesia. Tapi, mohon maaf sebelumnya disini saya tidak ada maksud apa-apa, saya hanya ingin mencari win-win solution agar semua dapat berjalan dengan baik.
Kasus diatas merupakan dilema untuk kami dokter gigi. Banyak sekali pasien post perawatan tukang gigi yang datang ke puskesmas atau ke praktek dokter gigi meminta tolong untuk diperbaiki giginya akibat dari hasil perawatan tukang gigi yang kurang baik. Ini yang membuat kami sedih, disatu sisi kami harus menolong pasien tersebut, tetapi di satu sisi kami tidak bisa menolong karena tingkat keparahan kasusnya sudah jauh diatas kompetensi kami.
Keberadaan tukang gigi dalam sejarahnya merupakan pelopor didirikannya Fakultas Kedokteran. Bermula dari tempat kursus tukang gigi yang didirikan oleh DR Moestopo, kemudian berubah menjadi Universitas DR Moestopo (Beragama).Â
Pada saat itu praktik dokter gigi sebenarnya sudah ada, tapi sangat terbatas dan hanya melayani orang Eropa yang tinggal di Surabaya. Beranjak dari kondisi itulah, lantas penguasa kolonial Belanda terdorong untuk mendirikan lembaga pendidikan kedokteran gigi STOVIT (School tot Opleiding van Indische Tandartsen) di Surabaya, Jawa Timur, tahun 1928. Waktu itu, angkatan pertamanya berjumlah sekitar 21 orang. 5 Mei 1943, Jepang mendirikan Ika Daigaku Sika Senmenbu (Sekolah Dokter Gigi) di Surabaya. Sekolah ini didirikan untuk memenuhi kebutuhan tenaga dokter gigi berkualitas dalam waktu singkat. Sekolah ini dibawah kepemimpinan Dr Takeda, sebelum diganti oleh Prof Dr Imagawa. Di antara staf pengajar berkebangsaan Jepang, terdapat beberapa staf pengajar warga Indonesia, satu di antaranya adalah Dr R Moestopo.
Moestopo inilah yang kali pertama mendirikan Kursus Kesehatan Gigi di jakarta, pada tahun 1952, meski praktik tukang gigi (dukun gigi) yang keahliannya diperoleh secara turun-menurun itu sudah lebih dulu ada di Indonesia. Waktu itu Moestopo berpangkat Kolonel dan menjabat Kepala Bagian Bedah Rahang RSPAD Gatot Subroto, mengelola. Kursus ini berlangsung selama dua jam, pukul 15.00 WIB – 17.00 WIB. Tujuan didirikannya kursus tersebut untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan tukang gigi di seluruh Indonesia yang jumlahnya saat itu hampir 2.000 orang. Karena tak mengherankan bila banyak tukang gigi senior di negeri ini hasil didikan beliau.