Sebagai contoh, para sahabat Nabi ridhwanuLlahi ‘alaihim. Pada waktu mengambil baiat kepada Nabi Muhammad saw, mereka tidak berpikiran karena mereka ingin membuat jalan lebar atau ingin memiliki kebersihan di sekitar lingkungannya atau hal-hal duniawi lainnya. Sebaliknya, mereka dibacakan dan membaca, لا إله إِلَّا الله مُحَمَّد رسول الله ‘Laa ilaaha illAllah, Muhammadur rasuluLlah’ – 'Tidak ada yang patut disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya' dan dengan hal ini mereformasi akhlak mereka dan dengan akhlak yang lurus juga pasti akan membuat baik dan lurus hal-hal duniawi mereka. Kaum Muslim zaman itu menjadi teladan dalam hal kebenaran dan kejujuran. Dalam perdagangan, mereka dapat dipercaya sehingga penduduk dunia mempercayakan harta mereka tanpa rasa cemas. Mereka sedemikian menegakkan keadilan sehingga berbagai rakyat menginginkan berada di bawah pemerintahan orang Muslim.
Pada zaman Hadhrat Khalifah Umar ra, umat Muslim harus meninggalkan suatu wilayah di Syam (Suriah) karena besarnya jumlah tentara Romawi yang hendak menyerang mereka. Kaum Kristen Suriah yang menjadi rakyat pemerintah Islam menangis ketika umat Islam berangkat pergi meninggalkan mereka. Warga Kristen tersebut menghentikan pasukan Muslim seraya mengatakan, “Kami akan membantu kalian jika tetap tinggal di sini.” Mereka orang-orang Syam itu adalah Kristen seperti halnya orang-orang Romawi juga [yang sebelumnya memerintah mereka], tetapi ikatan mereka dengan umat Islam itu karena moral yang tinggi dan tata kelola pemerintahan yang sangat baik dari kaum Muslim. Hal demikian membuat mereka bersedia membantu kaum Muslim melawan pemerintahan Romawi yang sama-sama beragama Kristen.
Meskipun pemerintahan adalah pencapaian duniawi, pemerintahan umat Muslim waktu itu bukanlah semata-mata duniawi. Umat Muslim waktu itu dianugerahi hal ini sebagai buah dari keistimewaan keimanan mereka sehingga dengan menjalankan hukum-hukum agama, mereka terhiasi dengan keindahan dan keistimewaan sampai-sampai rakyat dari beberapa agama yang berbeda menghendaki agar pemerintahan tetap tegak di tangan kaum Muslim. Tak diragukan lagi umat Muslim waktu itu meraih hal ini sebagai buah dari ikrar لا إله إِلَّا الله مُحَمَّد رسول الله ‘Laa ilaaha illAllah, Muhammadur rasuluLlah’ – “Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul Allah.” Namun, itu bukan ikrar hanya di lidah saja melainkan sebagai karunia dari kebenaran mereka dalam keimanan mereka karena mengikrarkan hal ini hanya dengan lidah saja juga akan kehilangan dunia juga. Sementara itu, orang yang mengikuti agama yang benar secara benar lalu menghiasi dirinya dengan akhlak-akhlak maka ia juga mendapatkan dunia juga. Para pemegang pemerintahan di kalangan umat Muslim di masa kontemporer ini (masa sekarang) tidak memahami hal ini sehingga mereka tidak menjalankan pemerintahan dari segi ini.
Hadhrat Mushlih Mau’ud ra meriwayatkan bahwa dalam kerangka penjelasan perihal hubungan yang kuat dengan Allah Ta’ala, Hadhrat Masih Mau’ud as biasa menceritakan kisah tentang seorang Taajir (pengusaha, saudagar, pedagang) yang akan berangkat pergi melakukan sebuah perjalanan dan meninggalkan sejumlah besar uang yang dititipkannya kepada seorang Qadi (hakim) kota itu. Setelah kembali, ia meminta sang Qadi untuk mengembalikan tas uangnya tapi Qadi hanya menyangkal pernah diberi uang sebagai kepercayaan/titipan. Sang pedagang sangat gelisah dan memberi Qadi dengan banyak petunjuk dan informasi untuk mengingatkannya perihal tas uangnya, tapi Qadi mengatakan bahwa ia tidak pernah menyimpang barang kepunyaan orang lain sebagai kepercayaan (amanat).
Mereka diperintah oleh seorang raja yang sangat mudah didekati. Pedagang pergi menemuinya dan menjelaskan ceritanya. Raja memintanya beberapa bukti bahwa ia telah meninggalkan uangnya. Pedagang mengatakan dia tidak mempunyai bukti. Raja memikirkan rencana dan meminta pedagang untuk berdiri di samping Qadi pada hari prosesi penghadapan raja. Pedagang setuju dan mengikuti rencana pada hari prosesi. Raja berkata, “Saya akan berbicara dengan Anda dengan cara tak resmi seperti dengan kawan dekat dan ramah. Anda harus menanggapinya dalam keramahan yang sama.”
Pada hari prosesi, raja dan pedagang keduanya secara terbuka mengobrol dengan ramah dan pedagang menceritakan perihal tas uangnya yang tertinggal pada seseorang sebagai kepercayaan (amanat) dan ia menderita kesulitan dalam mengambilnya kembali. Raja berkata, “Kalau Anda menyampaikan hal ini sebelumnya tentu saya akan menyelesaikan masalah Anda sehingga tas uang Anda dapat kembali. Jika Anda terus mengalami kesulitan dalam mendapatkan kembali uang Anda, saya harus datang dan menemui Anda.” Qadi melihat semuanya.
Ketika prosesi berlalu Qadi berkata kepada si pedagang, “Ingatan saya tidak sangat baik dan saya mungkin sudah lupa tentang tas uang. Coba Anda sampaikan beberapa petunjuk dan ciri-ciri barang Anda.” Ketika sang pedagang memberinya petunjuk, Qadi berkata, “Kenapa kau tidak beritahu saya tanda-tandanya sebelumnya? Barang titipan Anda tersimpan pada saya. Saya akan pergi dan mendapatkan tas Anda lalu akan saya serahkan pada Anda!"
Sekarang, jika persahabatan dengan sumber kekuasaan duniawi yang terbatas kekuatannya dapat memberikan begitu banyak keuntungan kepada seseorang, maka bagaimana persahabatan dengan Allah? Bagaimana dunia tidak akan takluk pada manusia yang demikian, yang bersahabat dengan Allah. Dengan mengikuti agama yang benar secara benar memungkinkan seseorang untuk menang atas dunia seluruhnya. Para sahabat Nabi saw memperoleh itu semua berupa keduniaan melalui Nabi saw, bukan dengan cara mengikuti sarana-sarana materi, melainkan dengan mengikuti agama. Tapi keyakinan (iman) sempurna diperlukan untuk ini, keyakinan yang menarik ridha (kesenangan) Allah.
Jika seseorang telah mempunyai keyakinan sempurna, ia tidak akan pernah bisa meninggalkan moral yang tinggi (akhlak fadhilah). Jika dia mengusahakan penerapan semua aspek moral dan mempraktekkan semuanya, maka dia akan meraih kejujuran, kebenaran, kepercayaan, kesalehan dan kesucian. Dan ini tentu akan membuat dirinya memperoleh pengetahuan, keterampilan, kesadaran, kemampuan serta ketekunan, dan ia akan mencapai kesuksesan duniawi juga. Seorang mu-min hendaknya harus paling banyak fokus pada hubungan rohani. Tidak seperti orang-orang yang berucap bahwa hanya pernyataan lisan saja sudah cukup. Kecintaan kepada Tuhan tidak hanya bisa dengan lisan saja, melainkan dengan hati dan jika telah demikian, maka manusia dapat memperoleh segala sesuatunya.[9]
Manusia tidak akan mendapat anugerah karunia hingga dia mencapai puncak (keunggulan/keistimewaan) dan kesempurnaan pada sesuatu hal yang ia kerjakan. Seseorang juga hanya dapat meraih manfaat dalam hal agama terkecuali dengan kesempurnaan dan pencapaian puncak keunggulan. Maka dari itu, seseorang harus berusaha untuk itu.
Hadhrat Masih Mau’ud as biasa bersabda, “Orang-orang yang mendapatkan keuntungan dariku hanyalah mereka yang memiliki asosiasi (ikatan) yang kuat dan erat denganku; baik mereka yang sangat menentang, seperti Maulawi Tsana Ullah Sahib dan mereka lainnya yang menjadi terkenal terutama karena sempurna dalam menentangku, atau mereka yang benar-benar tulus dan sempurna dalam mengikuti dan menaatiku. Asosiasi lemah (hubungan yang lemah denganku) tidak menguntungkan sama sekali.