Mohon tunggu...
D.A. Dartono
D.A. Dartono Mohon Tunggu... Administrasi - Penggemar bacaan dan pegiat literasi.

Senang berdiskusi, berdialog dan sharing ide. Curah gagasan, menulis dan tukar-menukar pengalaman.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Xi, Khonghucu dan Ide Spiritualitas yang Tak Mati

25 Juli 2015   19:06 Diperbarui: 25 Juli 2015   19:06 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Unsur ketiga, bagaimanapun adalah keinginan alami, kecintaan fitri melekat pada sifat dasar manusiawi. Unsur ketiga ini adalah cinta kasih yang melekat dan pengabdian yang membuat orang mengabaikan orang lain, dan membuatnya hanya berpaling ke obyek yang ia cintai. Seperti cinta yang melekat antara ibu dan anak sebagaimana telah saya sebut tadi. Bahkan, jika seorang anak yang tengah tenggelam di lautan mengetahui ibunya itu tidak bisa berenang, jika si ibu ada di sekitar itu, maka sang anak akan memanggilnya supaya ia menolongnya, dan tidak memanggil orang lain.

Ikatan ini ini lahir dari hubungan emosional. Tentang hal ini, Baginda Nabi saw (damai dan berkah dari Allah atas beliau) mengatakan, «الدُّعَاءُ مُخُّ العِبَادَةِ» ‘ad-du’aa-u mukhkhul ibaadah’ - “doa adalah sumsum ibadah.” Itu artinya, iman seseorang tidak dapat menjadi sempurna tanpa doa. Pendeknya, beliau saw mempersamakan hubungan antara Allah dan manusia sebagai hubungan antara ibu dan anak, hal mana seorang anak senantiasa berlari dan berjalan ke arah ibunya dan mengabaikan orang lain.

Elemen (unsur) kedua adalah moral (akhlak). Kita melihat aspek indah ini dalam kehidupan penuh berkat Baginda Nabi saw. Kita melihat kelakuan baik dan ekspresi cinta beliau saw atas istri-istri beliau, sesuatu yang penting agar memiliki kehidupan rumah tangga yang bahagia. Ini termasuk akhlak mendasar. Cinta dan kepedulian beliau bagi istri-istrinya adalah sampai-sampai jika seorang istri beliau minum air dari suatu perkakas untuk minum, ketika beliau saw ingin minum, beliau menempatkan mulutnya di tempat istrinya telah menempatkan mulutnya untuk minum.[4] Dalam corak itu, ini adalah sesuatu yang nampaknya kecil tapi itu merupakan suatu pokok pandangan yang sangat halus lagi mendalam. Hal ini menandakan bahwa cinta tidak hanya diungkapkan dengan sikap-sikap dan perkara-perkara yang besar, tetapi benar-benar terlihat dari gerakan-gerakan kecil!

Tidak cukup hanya itu. Kehidupan penuh berkat Baginda Nabi saw penuh dengan peristiwa-peristiwa menakjubkan yang berkaitan dengan akhlak sedemikian banyak, sehingga tampaknya semua hidup beliau hanya untuk mempelajari perihal akhlak dan mengajarkannya kepada orang-orang. Beliau adalah teladan tiada taranya dalam setiap hal, seperti misalnya hubungan dengan umat manusia, hubungan antar kerabat, rincian kelakuan dan perlakuan terhadap sesama manusia, menghindari kepalsuan, pengkhianatan, prasangka buruk dan ketidakpercayaan. Keteladanan beliau saw itu mencapai derajat yang mana tidak ada seorang pun yang dapat memperlihatkannya sejumlah 1/10 (sepersepuluh)nya saja dari yang beliau saw telah perlihatkan pada kita meskipun andai bisa mengalami puluhan kehidupan.

Unsur ketiga yang beliau saw ajarkan ialah memandu dalam aspek materi (jasmaniah). Misalnya, membuka atau memperluas jalan-jalan baru bagi warga masyarakat, pasokan air bersih, dan saat mendirikan sebuah kota atau pemukiman baru beliau menaruh perhatian atau memikirkan perihal para pembangunnya dan perancangnya. Beliau saw mengarahkan perhatian pada kebersihan jalan-jalan di perumahan. Saran dan petunjuk dari beliau saw agar membuat rumah yang lapang sehingga udara dapat masuk ke dalamnya.[5] Beliau saw mengarahkan perhatian pada semua hal materi dan duniawi, baik itu yang berhubungan dengan pemerintahan dan kemasyarakatan, maupun juga perdagangan dan pertukangan. Tiap-tiap sesuatu beliau jelaskan pada waktu dan tempatnya masing-masing sebagaimana kita dapati rincian besarnya dalam sirah (riwayat hidup) beliau saw.

Namun, meski demikian, bertentangan dengan orang-orang yang disebut ulama (pemimpin agama) hari ini, Nabi saw tidak menganggap segala sesuatu itu sebagai bagian dari agama. Misalnya, suatu kali saat melewati suatu kebun kurma, Baginda Nabi saw melihat beberapa petani melakukan penyerbukan pohon kurma dengan membawa bagian benih jantan dari pohon ke dalam kontak dengan bagian benih betina dari pohon tersebut. Beliau saw bersabda, ”لَعَلَّكُمْ لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا كَانَ خَيْرًا"‏ “Aku menduga, andai kalian tidak melakukannnya, mungkin lebih baik”, dan membiarkan penyerbukan terjadi secara alami melalui angin.

Para petani meninggalkan praktek itu tetapi pada musim panen tahun berikutnya itu mereka tidak memperoleh panen yang baik. Ketika Nabi saw diberitahu penyebab hasil panenan yang lebih rendah, beliau saw mengatakan bahwa beliau saw tidak memerintahkan mereka untuk meninggalkan praktek tersebut, beliau saw bersabda, "‏ أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ ‏"‏ ‘Antum a’lamu biamri dunyakum’ – “Kalian lebih mempunyai pengetahuan tentang hal-hal duniawi kalian.”[6]

Hadhrat Mushlih Mau’ud ra mengatakan, “Jadi, jelas dalam hal ini, bahwa beliau saw telah memisahkan aspek materi dari masalah agama. Itu jugalah sabda beliau saw, ”لَعَلَّكُمْ لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا كَانَ خَيْرًا"‏ ‘Aku menduga, andai kalian tidak melakukannya, mungkin lebih baik’. Sabda beliau saw sendiri diucapkan sesuai dengan perintah-perintah Allah.” Sementara ini adalah sebuah sabda dari lisan seorang Rasul Allah Ta’ala yang menganggap hal-hal materi sebagai materi dan berkata kepada manusia, “Kalian lebih tahu daripadaku perihal urusan duniawi kalian.” Namun, kita saat ini mendapati para Maulwi (ulama) yang selalu siap menyatakan orang-orang sebagai kafir dan murtad hanya karena bertentangan pendapat dengan mereka!

Dan kemudian di sisi lain, kita melihat bangsa-bangsa Barat – atau mereka yang menamakan diri bangsa-bangsa maju berperadaban - tidak menganggap penting beriman kepada agama, tidak menghormati ajaran agama dan juga akhlak, tetapi mereka hanya menekankan segala hal yang bersifat materi (jasmaniah). Hadhrat Mushlih Mau’ud ra mengatakan, “Para filsuf (ahli filsafat) mereka (bangsa Barat) mengatakan, ‘Persoalannya bukanlah bagaimana Tuhan menciptakan manusia, melainkan bagaimana manusia (na’uudzu biLlaah) telah menciptakan Tuhan.’

Mereka menganggap pertanyaan mengenai Tuhan adalah akibat kemajuan manusia, dan jika memang Tuhan itu Ada maka itu hanyalah lingkaran akhir kemajuan akal manusia. Mereka beranggapan manusia mencari model (rancangan, contoh, teladan) yang sangat baik dan ketika model ini tidak ditemukan di antara umat manusia, pikiran melampaui alam kemanusiaan dan secara bertahap sesuatu yang sempurna dibayangkan, dipikirkan dan pemikiran itu terus mengalami kemajuan dan ini mereka anggap sebagai konsep Tuhan.” Hadhrat Mushlih Mau’ud ra mengatakan bahwa demikianlah bagaimana orang-orang itu telah membuat konsep Tuhan sebagai aspek material.

Secara bertahap mereka berpaling dari agama, dan para filsuf zaman ini cenderung untuk menganut atheisme. Sebagian besar orang di Barat, atas nama pencerahan dan pendidikan, tidak percaya adanya Tuhan. Mereka hanya menganggap moralitas (perilaku yang baik) dan kesuksesan materi sebagai segalanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun