Sekarang maupun tiga tahun lalu, pemahamanmu masih sama. Aku tidak akan memaksamu untuk memahami bagaimana aku (yang juga adalah nenekmu) memandang hidup dan ketidakhidupan pararel ini. Aku juga tidak ingin memaksamu untuk paham dan menerima bahwa Tuhanku, Tuhan nenekmu, juga Tuhanmu adalah Tuhan yang sama.
Aku menghela nafas panjang.
“Mungkin cara kita menyembah Tuhan tak lagi sama. Tapi aku yakin suatu saat kau akan menyadari bahwa kita tidak pernah menyembah Tuhan yang tidak sama. Dahulu maupun sekarang, Tuhanku adalah Tuhanmu dan Tuhanmu adalah Tuhanku. Masih sama, selalu sama dan akan terus sama.”
Kau hanya diam. Memandang ke luar jendela yang mulai basah akan rintik hujan senja itu.
“Mungkin.”, katamu datar sambil menyeruput tehmu yang aku yakin telah dingin pula.
Senja itu kita mengakhiri percakapan kita tanpa kata yang lainnya. Tapi setidaknya aku menjadi tahu bahwa aku masih harus menunggu untuk bisa bersamamu.
Menunggu sampai tidak ada lagi hal yang tidak sama diantara kita berdua secara sempurna.
Menunggu meski dalam waktu lama melewati tumimbal lahir yang entah keberapa.
Aku akan menunggumu, selalu.
Jakarta, 24 Juni 2016