Tentang pengakuan tanpa syarat. Bukankah kita mengakui adanya cahaya karena adanya kegelapan?
Aku juga ingin menjelaskan padamu tentang bunga, kemenyan dan cara nenekmu sembah Hyang yang kamu anggap tidak wajar.
Nenekmu memang tidak pernah bersembah Hyang seperti yang kau lakukan. Ia adalah orang Jawa yang sejati. Sedang Jawa itu sendiri artinya Jaba (Luar). Namun ia lebih sering bersembahyang ke dalam. Dalam ketenangan jiwanya, setiap laku adalah sembah Hyang.Â
Terkadang ia bersembah Hyang juga ke luar. Lewat wewangian dari kemenyan, lewat keindahan dari bunga, lewat kesegaran dari air, lewat gelora dari api dan lewat pengorbanan dari sesaji.Â
Dengan caranya itu, ia menyembah Tuhan. Sang Hyang. Tuhan yang sebenarnya tak berbeda dengan Tuhanmu. Namun kamu belum tahu. Belum, bukan tidak.
Lalu aku ingin menghilangkan kegentaranmu. Kegentaran akan hidup yang hanya sekali dan kemungkinan kecil kau akan bersatu kembali dengan nenekmu dalam abadinya surgawi.
Nenekmu juga tak pernah tergiur dengan surga yang kau umbar. Surga dengan susu yang mengalir pada setiap sungainya. Surga yang penuh dengan makhluk-makhluk suci yang rupawan. Surga yang menjanjikan kebahagiaan yang abadi.
Baginya, kebahagiaan sejati adalah sangkan paraning dumadi, manunggaling kawula Gusti.
Begitulah pandangan nenekmu yang adalah aku dan aku adalah nenekmu.
Waktu berlalu. Dalam kebisuan, aku menyeruput kopiku yang telah dingin itu.