Ingatanku terlempar saat tiga tahun yang lalu. Saat aku, juga dirimu, tidak pernah merasa tidak ada yang tidak cocok diantara kita.Â
Kita merencanakan sesuatu bersama. Membicarakan hal yang kurang lebih sama.Dan tertawa dengan cara dan akan hal yang sama.Â
Hingga tiba kala aku menyadari bahwa ada hal yang tidak sama diantara kita berdua.
Suatu hari kau bercerita padaku bagaimana kau telah memarahi nenekmu karena ia menyimpan sebuah jimat dibawah bantal tidurnya. Kejawen itu musyrik, katamu kala itu. Dan saat itu pula aku merasa ada yang aneh pada diriku.
Tiba-tiba saja jiwaku menebas ruang dan waktu. Aku pun menjelma menjadi nenekmu yang kau marahi waktu itu. Ya, aku adalah nenekmu, nenekmu adalah aku. Manunggal dalam ruang dan waktu yang berbeda.Â
Aku menjadi tahu bagaimana kau memarahi nenekmu kala itu. Tentang kebaya berwarna wulung yang selalu dipakainya yang menurutmu menyeramkan. Tentang bunga, kemenyan dan caranya sembah Hyang-nya. Tentang hidup yang cuma sekali dan ancaman neraka yang membelitnya. Tentang keunggulan Tuhanmu, juga agamamu yang mampu menyelamatkan manusia menuju surga.
Saat itu, aku ingin sekali menjelaskan padamu. Menjelaskan apa yang dipikirkan nenekmu dalam diam saat kau mencecarnya dengan dengan berbagai kata.
Namun dunia spiritual orang Jawa berbeda dalam memandang wulung alias hitam.Â
Wulung adalah lambang kejujuran. Tentang sang diri yang memang tidak suci. Juga tentang cela yang menyelimutinya.Â
Tentang kepasrahan. Pasrah tetapi tidak menyerah.Â