"Lobang Hitam Mbah Soero''
Sungai Ombilin jernih mengalir damai. Ketika matahari di ubun kepala, airnya akan memantulkan warna biru langit tanpa tiang.Â
Menjadi napas kehidupan bagi pribumi dan mahkluk hidup sekitar. Tepian jalanan setapak pribumi bertatapan dengan hutan semak belantara. Sembari angin melayang yang diiringi nyanyian burung murai, pohon bermahkota daun ikut menari.Â
Begitupun pohon kelapa milik pribumi, Â menjulang kelangit, berporos ditanah yang subur dan luhur. Mereka pribumi yang menanam, merawat dan memanennya dengan penuh suka cita.
Tanah kelahiran pribumi ini dikelilingi oleh Bukit Barisan yang sambung menyambung di desa asri terpencil. Itulah Sawahlunto sebuah desa tanpa  kebisingan, jauh dari  masalah politik, ekonomi, dan administrasi yang difokuskan pemerintah Hindia Belanda. Sama tuanya dengan umur dunia. Nafsu yang bergelora selalu mendesak para orang kulit putih.Â
Menyusung, mencari berkelana diberbagai pelosok negri, dan secara gamblang melihatkan keinginan untuk menguasai negri ini tanpa ampun.
Pada 1 Desember 1888 pemerintah Hindia Belanda membentuk Sawahlunto menjadi sebuah kota. Waktu itu negri ini masih terombang ambing di peta dunia untuk merdeka.  Penduduk yang berasal dari pegawai dan pekerja tambang. Dominan berasal  dari luar Sawahlunto. Â
Kekurangan sumber daya manusia, menjadikan rakyat Indonesia sebagai budak di negri sendiri. Mereka yang berkulit putih dengan kekuasaan dan kehebatannya pada masa itu. Menjadikan kota Sawahlunto, berdenyut tiap detik tanpa henti.Â
Waktu terus berputar. Manusia pun berubah menjadi tua dan mati. Perputaran jabatan terus berlangsung. Sampai akhirnya Mbah Soero di buang dari kota kelahirannya. Mbah Soero adalah lelaki Jawa tulen lahir 1859.Â