Mohon tunggu...
Dila AyuArioksa
Dila AyuArioksa Mohon Tunggu... Seniman - Motto Lucidity and Courage

Seni dalam mengetahui, adalah tahu apa yang diabaikan -Rumi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Saya, Istri Pejabat

22 Januari 2020   09:54 Diperbarui: 22 Januari 2020   10:20 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ruangan bekas dapur yang di sulap menjadi kamar itu sangat sumpek.

Cahaya matahari tidak bisa menerobos keruangan tanpa jendela itu. Cat dinding  bewarna putih pudar dan beberapa sudut loteng serta lantai keramik ditumbuhi lumut hijau.

 Kurangnya perhatian pemilik rumah terhadap huniannya, menjadikan rumah bernuansa gelap. Semua perabot dan properti seperti barang antik bagiku. 

Hiasan dinding dengan lukisan dan ukiran era 90-an tertata tak beraturan . Kemudian banyak barang bekas yang masih disimpan. Sehingga semua ruangan penuh dengan tataan barang yang tak berfungsi.  Jika kita duduk diluar teras kamar, puluhan nyamuk mengintai kulitku. 

 Makanya untuk antisipasi nyamuk ketika tidur, saya dan Anya menghidupkan kipas angin sampai pagi. Tapi, kok suara kipas anginnya berubah beberapa menit ini. Tak lama kemudian kipas angin  mati mendadak. Aku pun binggung. Akhirnya Anya dengan  sigap mencoba memperbaiki. 

 Setelah diperbaiki kipas angin bisa berputar  kembali. Namun tidak sampai setengah jam , kipas itu mati lagi. Anya mencoba mencari Buk Mega, si pemilik kos. Dengan wajah murung Anya masuk ke kamar dan berkata "Ibuk sedang di luar". 

Anya duduk diatas kasur dan mengambil kertas untuk dijadikan kipas. Akhirnya kami hanya bisa menunggu Ibuk Mega.

Tak lama kemudian terdengar langkah kaki dan ternyata itu ibuk Mega yang  datang dengan berbaju batik dan celana dasar hitam, berdiri depan pintu kamar.

Belum sempat membuka mulut. Buk Mega langsung menyemprot dengan kata-kata pedas dan nyaring "kalian berdua jangan zolimi saya, saya itu janda. 

Terus kalian mau minta ganti kipas angin ke saya. Pokoknya saya tidak mau tahu kipas angin itu harus bisa hidup" ucap buk Mega

Kami berdua syok dengan tingkah buk Mega yang emosinya membludak "bukan begitu buk, kami berdua cuma konfirmasi ke  ibuk, bahwa kipasnya rusak" jawab Anya dengan nada rendah

"Ah, saya itu janda dan jangan permainkan saya, cukup orang lain yang bersikap demikian, saya sudah ngasih kos murah kalian malah menzolimi saya, nanti saya tak sumpahi kalian berdua" masih dengan emosi yang terkendali

"Masya Allah buk, ngak  ada niat kami sedikitpun untuk menyusahkan buk Mega, yaudah buk kami minta maaf" ucapku

" Saya istri pejabat, dan ngak miskin-miskin amat. Tapi sekarang saya harus menghidupi anak saya dan cari biaya kuliah anak sendiri, kerja sana -sini.

Terus kalian malah memperumit hidup saya" wajah merah pun dan bibir yang bergetar terlihat dari ekspresi buk Mega
Untuk meredakan emosinya kami selalu mengucapkan maaf padanya. 

Setelah disadari kondisi mental dan pikiran buk Mega yang  tidak stabil. Apalagi dia harus menghidupi adiknya yang menderita plegeria. pengalaman pertama kali melihat adiknya,  saya terkejut dengan wanita  pendek, tersenyum tulus tanpa gigi. 

Berparas wajah tua dan rambut lurus tipis putih. Dia wanita yang baik meskipun memiliki kekurangan. Setiap hari membuang sampah, membersihkan lantai  atas kemauannya.  Setiap kali mandi langsung mencuci pakaian tanpa  sabun. Dia pun juga suka iseng gedor pintu tiap kamar kos. 

Hobinya bermain dengan semput merah yang dianggap cemilan manis  olehnya. Sikapnya memang  berbeda, namun  bagi saya wanita itu kuat dan tak ingin merepotkan siapapun.  Oh ya, dia tidak bisa mengeluarkan suara dari mulutnya. 

Terkadang jika ingin berkomunikasi dengannya harus pakai bahasa isyarat dan berbicara dengan pelan. Dari ekspresi dia bisa paham apa yang ingin kita sampaikan. Baik buk Mega maupun adiknya adalah dua wanita yang berkarakter sangat berbeda. Kebaikan buk Mega untuk merawat adiknya dan anaknya selama ini, sebuah kekuatan yang luar biasa.

Setelah marah-marah dan melihat respon kami, Buk Megapun pergi. melihat Buk Mega pergi, saya dan Anya, bungkam seribu bahasa, hanya menggeleng kan kepala masing-masing. Tak disangka  emosi Buk Mega belum reda, terdengar wanita parubaya itu berteriak-teriak di ruangan tengah. 

Untunglah putranya bisa  menenangkan ibunya itu. Kami melihat dari tirai jendela kamar dengan hati-hati. "Sumpah, kirain udah tenang" ucap Anya dengan berbisik kepadaku.

Spektakel yang luar biasa itu membuat kami berpikir  sejenak.  Memikirkan masalah dan beban yang dihadapi buk Mega. Kami tetap  berupaya berpikir positif, dan menganggap tindakan buk Mega dengan  wajar. Apalagi kondisi dan situasi yang dihadapi nya seorang diri untuk menanggung semua beban.

Tak lama kemudian buk Mega datang dan memawarkan kipas angin milik anaknya. 

 Sembari mengambil kipas angin . Terlontar dimulut Bu Mega " maafkan saya Neng,  sekarang saya harus cari uang untuk biaya anak saya yang kuliah, apalagi setelah kehilangan suami. Semua hidup saya berbubah. 

Terkadang emosi saya pun tak terkendali"
Langsung tanganku menyentuh tubuhnya yang lemah itu "ya, buk ngak apa-apa kami paham apa yang ibuk rasakan
Rasa empati kami  diuji ketika bertemu dengan sosok janda cantik berkulit putih itu. .

Setelah lama kehilangan suami buk Mega tak terniat untuk menikah dengan orang lain. Kurangnya dialog intens dengan seseorang membuat pikiran buk Mega berkecamuk. Padahal masih banyak manusia mengalami masalah yang lebih rumit. Kuncinya adalah ikhlas dalam segala hal apapun. Supaya emosi dan ego bisa dikontrol.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun