Mohon tunggu...
Dike RamadhaniEkasari
Dike RamadhaniEkasari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya senang berkenalan dan bertukar pandangan dengan orang lain

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kasus Aulia Risma: Bullying di Balik Kematian Mahasiswa Dokter Spesialis

26 Desember 2024   18:52 Diperbarui: 26 Desember 2024   18:52 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bullying bisa dialami oleh berbagai kalangan. Salah satunya dialami oleh mahasiswa PPDS, Aulia Risma, yang bunuh diri karena mengalami bullying selama mengalami pendidikan dokter spesialis anastesi. Aulia Risma ditemukan di kamar kosnya dengan wajah membiru karena memasukkan obat keras kedalam tubuhnya. Kasus ini membuka pandangan masyarakat tentang beratnya perjalanan yang harus dialami dokter pada perjuangannya menjadi dokter. Sekolah yang sulit dan berat, ditambah saat menjalani program koas harus mengalami 'senioritas'. Kasus ini terkuak pada Agustus 2024.

Aulia Risma merupakan mahasiswa yang sedang menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anastesi. Tim Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemenkes telah melakukan investigasi di RS Kariadi tempat Aulia Risma menjalani praktik dan universitas tempat Aulia Risma berkuliah. Di tempat kejadian ditemukkan barang bukti berupa buku harian korban yang memuat ceritanya selama kuliah kedokteran.

Kemenkes tetap melakukan investigasi karena bersangkutan dengan lingkungan UPT Kemenkes yaitu RS Kariadi. Pengalaman calon dokter umum dan dokter spesialis dirundung oleh senior untuk memenuhi hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan proses pendidikan dokter. Calon dokter harus mengeluarkan uang lebih untuk 'membayari' keperluan yang diminta senior.

Perundungan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), yaitu hak rasa aman, hak mengembangkan diri, hak pribadi, dan hak-hak lainnnya. Menurut Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28A, menyatakan setiap orang berhak untuk hidup dan setiap orang berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Undang-Undang Dasar Tahun 1945, juga menerangkan bahwa terdapat hak untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil. Hak-hak ini melekat pada diri manusia sejak dia lahir. Aulia Risma berhak untuk hidup tanpa ada perundungan dan berhak mendapatkan kepastian hukum atas yang telah dialaminya.

Menurut Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar tanpa diskriminasi.

Diskriminasi dapat berupa:

1. Verval Expression: diskriminasi dengan cara menghina dengan kata-kata.

2. Avoidance: diskriminasi dengan cara menghindari atau menjauhi seseorang atau kelompok masyarakat tertentu dalam kelompoknya.

3. Exclusion: diskriminasi dengan cara tidak memasukkan seseorang atau kelompok masyarakat tertentu dalam kelompoknya.

4. Physical Abuse: diskriminasi dengan cara menyakiti, memukul, atau menyerang.

5. Extinction: diskriminasi dengan cara membasmi atau melakukan pembunuhan besar-besaran.

Perundungan tidak dibenarkan atas alasan apapun, baik sengaja maupun tidak sengaja. Perilaku ini harus dihilangkan di semua kalangan masyarakat. Individu yang mengalami perundungan berhak untuk melaporkan hal yang dialaminya kepada pihak yang dipercaya. Segala pihak juga harus bersinergi untuk memberantas perundungan.

Saat ini, Polda Jateng menetapkan tiga tersangka kematian Aulia Risma. Penyidik telah memeriksa 36 saksi dan 3 ahli selama proses pengusustan kasus itu berlangsung. Setelah melewati pengusutan yang panjang, Polda Jateng menetapkan tersangka kepada TE sebagai Kepala Program Studi (Kaprodi) Anestesiologi FK Undip, SM sebagai Kepala Staf Medis Prodi Anestesiologi, dan ZY yang merupakan senior Aulia Risma yang paling aktif membuat aturan, melakukan bullying dan makian.

Penetapan tersangka pada 24 Desember 2024 dengan ditetapkan atas kasus pemerasan pada pasal 368 ayat 1 KUHP, penipuan (378 KUHP), dan pemaksaan terhadap korban (335 ayat 1 KUHP). Ancaman hukumannya maksimal 9 tahun penjara. Polisi telah mengamankan barang bukti berupa uang sebanyak Rp97.750.000.

Pengentasan perundungan harus didukung oleh semua pihak. Upaya untuk mengentaskan perundungan yang bisa dilakukan oleh universitas, yaitu:

1. Pembentukan badan untuk mengawasi proses pendidikan di perguruan tinggi dan instansi manapun.

2. Penegakkan aturan zero bullying.

3. Pembentukan badan atau help center sebagai wadah pelaporan kasus perundungan.

Upaya yang bisa dilakukan oleh mahasiswa untuk mencegah terjadi perundungan kepada dirinya, yaitu:

1. Menunjukkan prestasi akademik dan non akademik. Jadi tidak perlu ragu untuk menunjukkan prestasi dan potensi diri.

2. Memperbanyak pertemanan dengan mahasiswa.

3. Memiliki rasa percaya diri tinggi.

4. Menahan emosi dengan tidak terpancing untuk melawan.

5. Menunjukkan sikap berani.

6. Melaporkan ke pihak yang berwenang.

Masyarakat bisa melaporkan perundungan di laman https://perundungan.kemkes.go.id/. Dijamin aman karena langsung diawasi oleh pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Laporan harus mengisi ketentuan dan bukti yang bisa dipertanggungjawabkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun