Seabad Pram: Antara Ideologi, Keadilan, dan Takdir Tuhan
Oleh Dikdik SadikinÂ
AKU membaca Pramoedya Ananta Toer dengan rasa waswas. Nama itu selalu diselubungi prasangka: penulis Lekra, simpatisan kiri, seseorang yang pernah bernaung di bawah panji-panji Partai Komunis Indonesia.Â
Di lingkunganku, nama Pram tak lebih dari bayang-bayang masa lalu yang hendak dikubur bersama sejarah 1965.
Tetapi kata-kata memiliki kekuatan yang sulit ditolak. Aku di usia dua puluh tahun (1985) mulai dari Bumi Manusia, bukan karena ingin memahami Pram. Tetapi karena ingin tahu mengapa begitu banyak orang mengaguminya. Namun, semakin aku membaca, semakin sulit bagiku untuk sekadar membenci.
***
Pram adalah tokoh yang banyak dibenci sekaligus dipuja. Ia adalah penulis besar yang diasingkan oleh negaranya sendiri, tetapi dihormati di luar negeri. Karya-karyanya diterjemahkan ke lebih dari 40 bahasa, dibaca oleh akademisi dari Harvard hingga Sorbonne, tetapi di negerinya sendiri, ia dicap berbahaya.
Sebagian orang menganggapnya sebagai penyair kebebasan, seorang yang berani menantang tirani melalui kata-kata. Tetapi bagi yang lain, ia adalah pengkhianat bangsa, seorang yang pernah berada di lingkaran kekuatan kiri yang ditakuti.Â
Pram dijebloskan ke Pulau Buru tanpa pengadilan. Bukunya dilarang beredar selama lebih dari tiga dekade. Tetapi gagasannya tetap hidup, beredar di bawah tangan, dibaca dalam sunyi, dan diam-diam membentuk cara berpikir banyak orang.
Dalam sebuah wawancara, Pram pernah berkata, "Saya ini musuh negara. Tapi saya bukan musuh rakyat." Kalimat itu menusuk. Ia bukan hanya berbicara tentang dirinya, tetapi tentang bagaimana sejarah menciptakan musuh-musuhnya sendiri.
Aku membaca Anak Semua Bangsa, lalu Jejak Langkah. Aku melihat bagaimana Pram membangun Minke menjadi seorang pemikir revolusioner, tetapi tetap tanpa menyinggung Islam sebagai elemen utama perjuangan. Ini mengingatkanku pada pertentangan lama antara Lekra dan kelompok Islam di tahun 1950-an, saat gerakan kebudayaan kiri menolak gagasan bahwa agama harus menjadi poros dalam kebudayaan bangsa.
Aku bertanya-tanya: apakah ini memang pandangan Pram? Atau ini hanyalah bias seorang yang hidup dalam pengasingan ideologi tertentu?
***
Sejarah mencatat bahwa Pramoedya adalah bagian dari Lekra, lembaga kebudayaan yang dekat dengan PKI. Aku teringat perdebatan di masa lalu, saat Hamka, tokoh besar Muhammadiyah, menyebut Lekra sebagai ancaman bagi kebebasan berpikir, karena hanya mengakui kesenian yang berpihak pada revolusi.
Bagiku, sejarah 1965 bukan sekadar angka. Itu adalah ingatan kolektif yang masih menyisakan luka. Dalam Hari-hari Terakhir PKI karya Julius Pour, disebutkan bahwa lebih dari 500.000 orang terbunuh setelah peristiwa G30S. Amnesty International bahkan memperkirakan angka korban mencapai 1 juta jiwa. Di pesantren, para kyai mengingat bagaimana para santri harus melawan gerakan yang ingin menggantikan agama dengan ideologi.
Tetapi Pram, dalam bukunya, tidak berbicara tentang 1965. Ia berbicara tentang kolonialisme, tentang kebodohan yang diwariskan oleh sistem, tentang tanah air yang dijual murah oleh bangsanya sendiri. Apakah aku bisa menolaknya hanya karena ia pernah berada di sisi sejarah yang berbeda?
Aku harus memilah antara Pram sebagai seorang kiri dan Pram sebagai seorang yang memperjuangkan kebenaran. Keberpihakan politiknya mungkin bertentangan dengan keyakinanku, tetapi kata-kata dan perlawanan Pram terhadap ketidakadilan tetap memiliki nilai yang tidak bisa dikesampingkan begitu saja.
***
Aku membaca Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer, lalu Gadis Pantai. Aku melihat bagaimana Pram mengisahkan perempuan sebagai korban dari sistem yang menindas. Aku berpikir tentang Islam yang membebaskan perempuan dari belenggu jahiliyah, tentang bagaimana Rasulullah memuliakan perempuan. Tapi Pram tidak menulis tentang itu. Ia menulis tentang perempuan-perempuan yang dihancurkan oleh sistem, tetapi bukan dalam narasi Islam.
Namun data yang ada menunjukkan bahwa apa yang ditulis Pram bukan sekadar fiksi. Pada 2022, BPS mencatat bahwa sekitar 11,2% perempuan di Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun. Laporan Human Rights Watch menunjukkan bahwa perbudakan seksual masih terjadi dalam bentuk perdagangan manusia.
Aku bertanya-tanya, apakah aku membaca Pram sebagai musuh? Ataukah aku mulai memahaminya sebagai seorang yang menulis dengan luka yang berbeda?
***
Aku teringat kata-kata Sayyid Qutb: "Kata-kata memiliki sayap, dan ia bisa menjadi pedang atau pelita." Kata-kata Pram adalah pedang bagi mereka yang ingin mengubur sejarah. Tetapi bagi mereka yang percaya bahwa Islam adalah cahaya, kata-kata itu harus dilihat dengan hati-hati.
Pram bukan ulama, bukan santri, bukan seorang yang berbicara atas nama agama. Ia berbicara sebagai seorang yang percaya bahwa ketidakadilan harus dilawan, dengan atau tanpa Islam dalam narasinya.
Bandingkan dengan Amerika Latin. Gabriel Garca Mrquez menulis Seratus Tahun Kesunyian di tengah gejolak politik Kolombia, tetapi ia tetap diakui sebagai pemenang Nobel. Mario Vargas Llosa mengkritik rezim otoriter Peru tetapi tak pernah diasingkan ke pulau terpencil. Di Indonesia, Pram dipenjara tanpa pengadilan, bukunya dibakar, namanya dikubur dalam sunyi.
Di Jerman, generasi muda diajarkan tentang Holocaust, tentang bagaimana negara mereka pernah menjadi pelaku genosida. Di Indonesia, berapa banyak yang tahu tentang pembantaian 1965?Â
***
Setelah membaca Pram, aku sadar bahwa membaca adalah tindakan politik. Buku-buku Pram dilarang karena dianggap "mengajarkan komunisme." Tetapi jika komunisme telah mati, aku jadi menyadari bahwa kata-kata juga bisa dianggap ancaman. Kata-kata bisa membangun atau menghancurkan, bisa menghidupkan ingatan atau menguburnya lebih dalam. Aku mulai melihat dunia dengan cara yang berbeda.
***
Aku pun diingatkan pada firman Allah dalam Al-Qur'an:
"Sungguh, engkau (Muhammad) tidak akan dapat memberi petunjuk kepada siapa yang engkau kehendaki, tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk." (QS. Al-Qasas: 56)
Kebenaran adalah mutlak, tetapi hidayah adalah hak prerogatif Allah. Aku tidak bisa memaksa Pram untuk berada di jalan yang sama denganku. Namun aku juga tidak bisa mengingkari bahwa keadilan harus ditegakkan, tanpa melihat siapa dan apa keyakinannya.
***
Di usia dua puluh, aku bertemu Pramoedya Ananta Toer. Aku tidak ingin menjadi dirinya, tetapi aku tidak bisa lagi mengabaikannya. â–
Bogor, 1 Februari 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI