Aku teringat kata-kata Sayyid Qutb: "Kata-kata memiliki sayap, dan ia bisa menjadi pedang atau pelita." Kata-kata Pram adalah pedang bagi mereka yang ingin mengubur sejarah. Tetapi bagi mereka yang percaya bahwa Islam adalah cahaya, kata-kata itu harus dilihat dengan hati-hati.
Pram bukan ulama, bukan santri, bukan seorang yang berbicara atas nama agama. Ia berbicara sebagai seorang yang percaya bahwa ketidakadilan harus dilawan, dengan atau tanpa Islam dalam narasinya.
Bandingkan dengan Amerika Latin. Gabriel Garca Mrquez menulis Seratus Tahun Kesunyian di tengah gejolak politik Kolombia, tetapi ia tetap diakui sebagai pemenang Nobel. Mario Vargas Llosa mengkritik rezim otoriter Peru tetapi tak pernah diasingkan ke pulau terpencil. Di Indonesia, Pram dipenjara tanpa pengadilan, bukunya dibakar, namanya dikubur dalam sunyi.
Di Jerman, generasi muda diajarkan tentang Holocaust, tentang bagaimana negara mereka pernah menjadi pelaku genosida. Di Indonesia, berapa banyak yang tahu tentang pembantaian 1965?Â
***
Setelah membaca Pram, aku sadar bahwa membaca adalah tindakan politik. Buku-buku Pram dilarang karena dianggap "mengajarkan komunisme." Tetapi jika komunisme telah mati, aku jadi menyadari bahwa kata-kata juga bisa dianggap ancaman. Kata-kata bisa membangun atau menghancurkan, bisa menghidupkan ingatan atau menguburnya lebih dalam. Aku mulai melihat dunia dengan cara yang berbeda.
***
Aku pun diingatkan pada firman Allah dalam Al-Qur'an:
"Sungguh, engkau (Muhammad) tidak akan dapat memberi petunjuk kepada siapa yang engkau kehendaki, tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk." (QS. Al-Qasas: 56)
Kebenaran adalah mutlak, tetapi hidayah adalah hak prerogatif Allah. Aku tidak bisa memaksa Pram untuk berada di jalan yang sama denganku. Namun aku juga tidak bisa mengingkari bahwa keadilan harus ditegakkan, tanpa melihat siapa dan apa keyakinannya.
***