Hoaks Meninggalnya Acil Bimbo
Pelajaran dariOleh Dikdik Sadikin
"Kebohongan yang diulang seribu kali akan menjadi kebenaran."Â
KALIMAT yang sering dikaitkan dengan Joseph Goebbels, menteri propaganda Nazi, mungkin terdengar berlebihan. Tapi dalam lanskap digital hari ini, ada sepotong kebenaran yang sulit dibantah. Di grup-grup WhatsApp, di mana obrolan mengalir lebih deras daripada kesabaran untuk memeriksa fakta, kebohongan sering kali tidak perlu diulang seribu kali. Cukup sekali saja, dan ia meluncur seperti bola salju di lereng curam.
Di meja makan atau di warung kopi, dulu kabar burung menyebar lewat bisik-bisik. Sekarang, dengan gawai dalam genggaman, bisik-bisik itu menjelma menjadi ledakan viral.
Namun, bedanya, kabar burung di masa lalu membutuhkan waktu untuk mencapai banyak orang. Hari ini, cukup satu ketukan jari, satu klik tombol forward, dan kebohongan pun melesat lebih cepat dari klarifikasi.
Seorang teman mengirim kabar duka: "Innalillahi wa inna ilaihi raji'un, telah berpulang Acil Bimbo." Belum sempat kita bertanya dari mana sumbernya, pesan itu sudah melesat ke grup-grup lain. Doa-doa mengalir, ucapan belasungkawa berhamburan. Tak ada yang curiga, tak ada yang bertanya: "Apakah ini benar?"
Dua jam kemudian, sebuah klarifikasi muncul. Acil Bimbo masih hidup, sehat, mungkin sedang duduk di beranda rumahnya sambil menyeruput teh. Tapi siapa peduli? Jemari sudah bergerak lebih cepat daripada nalar. Kabar bohong itu telah menyusup ke ratusan grup, beranak-pinak dalam kecepatan yang tak tertandingi oleh permintaan maaf.
Data dan Fakta tentang Hoaks di Indonesia
Menurut laporan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo, sekarang Komdigi) 2024, Indonesia berada di peringkat teratas dalam penyebaran hoaks di Asia Tenggara. Laporan dari We Are Social 2024 mencatat bahwa 76% pengguna internet Indonesia mendapatkan informasi dari media sosial, termasuk WhatsApp, Facebook, dan TikTok---sebuah ekosistem yang subur bagi penyebaran informasi yang tidak terverifikasi.
Data dari Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) Â 2024 menunjukkan bahwa dari 2.710 hoaks yang terdeteksi sepanjang 2023, 42% di antaranya terkait dengan politik, 27% terkait kesehatan, dan sisanya mencakup ekonomi, sosial, hingga selebriti. Kasus-kasus viral seperti kabar bohong meninggalnya sejumlah tokoh publik, vaksinasi COVID-19 yang disebut berbahaya, hingga teori konspirasi pemilu hanyalah beberapa contoh betapa rentannya masyarakat terhadap manipulasi informasi.
Lebih spesifik, survei dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) 2023 menyatakan bahwa usia di atas 50 tahun adalah kelompok yang paling rentan terpapar hoaks, dengan 58% di antaranya mengaku pernah menyebarkan informasi yang ternyata keliru. Banyak di antara mereka tidak menyadari mekanisme penyaringan berita, sementara sebagian lainnya menyebarkan berita tanpa membaca isi secara penuh.
Mengapa Orang Tua Lebih Mudah Percaya Hoaks?
Mengapa begitu mudah bagi kita untuk mempercayai? Barangkali karena, seperti kata Francis Bacon  filsuf dan politikus di Kerajaan Inggris abad pertengahan, manusia lebih suka mempercayai apa yang mereka ingin percayai. Orang Indonesia, khususnya generasi tua, tumbuh dalam budaya yang mengedepankan kebersamaan. Percaya pada kabar yang datang dari seorang teman di grup WhatsApp bukan sekadar urusan informasi, melainkan ikatan sosial.
Penelitian dari University of Michigan (2022) menemukan bahwa kemampuan kognitif dalam memilah informasi menurun seiring bertambahnya usia. Otak manusia mengalami penurunan fungsi selektif terhadap informasi, sehingga lebih rentan terhadap bias konfirmasi. Ini diperburuk oleh iliterasi digital, di mana 43% orang tua di Indonesia tidak memiliki keterampilan dasar dalam mengecek sumber berita.
Di Jepang, masalah ini diatasi dengan pelatihan digital untuk lansia. Program 'SilverTech Literacy' yang diluncurkan sejak 2018 berhasil menurunkan penyebaran hoaks di kalangan lansia sebesar 37%. Korea Selatan menerapkan kebijakan serupa, di mana setiap komunitas lansia mendapatkan pendampingan digital gratis untuk mengenali informasi palsu.
Sebaliknya, di Indonesia, literasi digital belum menjadi perhatian utama bagi kelompok lansia. Padahal, laporan Digital News Report 2023 dari Reuters Institute menyebutkan bahwa lebih dari 61% hoaks yang menyebar di WhatsApp berasal dari kelompok usia 50 tahun ke atas.
Perbandingan dengan Negara Lain
Tidak hanya Indonesia yang menghadapi tsunami informasi palsu. Brasil, negara dengan tingkat penetrasi internet tinggi, juga mengalami lonjakan hoaks di kalangan orang tua. Pemerintah Brasil kemudian menerapkan penandaan otomatis untuk berita yang belum terverifikasi, bekerja sama dengan WhatsApp dan Telegram untuk memberikan label peringatan pada pesan yang sering diteruskan.
Di Jerman, ada hukum yang ketat: penyebar hoaks yang mengarah pada kepanikan publik bisa dikenai denda hingga 50.000 euro (sekitar Rp850 juta). Pemerintah juga memiliki program NetzDG yang mewajibkan platform digital untuk menghapus berita palsu dalam waktu 24 jam.
Amerika Serikat, dengan lanskap media sosial yang kompleks, menghadapi tantangan serupa. Namun, Facebook dan Google bekerja sama dengan organisasi berita independen untuk menampilkan 'fact-check label' pada artikel yang diragukan kebenarannya. Hasilnya? Hoaks di kalangan pengguna berusia 55 tahun ke atas menurun 29% sejak 2021.
Indonesia masih tertinggal dalam hal kebijakan ini. Kominfo hanya mengandalkan klarifikasi melalui situs TurnBackHoax dan akun media sosial, yang sayangnya tidak cukup efektif dalam menjangkau kelompok lansia yang sudah percaya sepenuhnya pada berita yang mereka baca pertama kali.
Ketika Hoaks Menjadi Ritual Sosial
Di usia senja, manusia sering kali merasa ditinggalkan oleh zaman. Gawai yang dulu asing kini menjadi jembatan yang menghubungkan mereka dengan dunia luar. Grup WhatsApp menjadi tempat berbagi, tempat berbincang, tempat menegaskan eksistensi. Mengirim kabar, meneruskan pesan, bukan sekadar tindakan berbagi informasi, tapi juga bentuk keterlibatan sosial.
Namun, yang sering terlupa adalah bahwa setiap pesan yang diteruskan, setiap kabar yang dikirim tanpa verifikasi, memiliki konsekuensi. Nietzsche pernah berujar, "Apa yang kita perjuangkan akan membentuk kita." Jika yang kita sebarkan adalah hoaks, tanpa sadar kita membentuk diri kita sendiri sebagai bagian dari rantai kebohongan.
Mengembalikan Nalar di Ujung Jari
Mungkin sudah waktunya kita menekan rem. Untuk belajar membaca lebih lambat, berpikir lebih lama, dan bertanya lebih sering. "Apakah ini benar?" adalah pertanyaan sederhana, tapi sering kali dilupakan.
Di zaman yang banjir informasi, skeptisisme adalah kebijaksanaan. Menunda jemari untuk menekan tombol forward adalah bentuk tanggung jawab. Karena dalam dunia yang semakin riuh ini, bukan hanya kebenaran yang butuh disebarkan, tapi juga kesabaran untuk memilah mana yang pantas dibagikan dan mana yang sebaiknya ditahan.
Atau, seperti yang dikatakan Mark Twain, seorang novelis, penulis, dan pengajar berkebangsaan Amerika Serikat , "A lie can travel halfway around the world while the truth is putting on its shoes." Jika kita terus gegabah, kita hanya akan menjadi penyebar kebohongan yang berjalan lebih cepat daripada kebenaran yang tertatih-tatih mengejarnya.
Bogor, 1 Februari 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI