Mengapa begitu mudah bagi kita untuk mempercayai? Barangkali karena, seperti kata Francis Bacon  filsuf dan politikus di Kerajaan Inggris abad pertengahan, manusia lebih suka mempercayai apa yang mereka ingin percayai. Orang Indonesia, khususnya generasi tua, tumbuh dalam budaya yang mengedepankan kebersamaan. Percaya pada kabar yang datang dari seorang teman di grup WhatsApp bukan sekadar urusan informasi, melainkan ikatan sosial.
Penelitian dari University of Michigan (2022) menemukan bahwa kemampuan kognitif dalam memilah informasi menurun seiring bertambahnya usia. Otak manusia mengalami penurunan fungsi selektif terhadap informasi, sehingga lebih rentan terhadap bias konfirmasi. Ini diperburuk oleh iliterasi digital, di mana 43% orang tua di Indonesia tidak memiliki keterampilan dasar dalam mengecek sumber berita.
Di Jepang, masalah ini diatasi dengan pelatihan digital untuk lansia. Program 'SilverTech Literacy' yang diluncurkan sejak 2018 berhasil menurunkan penyebaran hoaks di kalangan lansia sebesar 37%. Korea Selatan menerapkan kebijakan serupa, di mana setiap komunitas lansia mendapatkan pendampingan digital gratis untuk mengenali informasi palsu.
Sebaliknya, di Indonesia, literasi digital belum menjadi perhatian utama bagi kelompok lansia. Padahal, laporan Digital News Report 2023 dari Reuters Institute menyebutkan bahwa lebih dari 61% hoaks yang menyebar di WhatsApp berasal dari kelompok usia 50 tahun ke atas.
Perbandingan dengan Negara Lain
Tidak hanya Indonesia yang menghadapi tsunami informasi palsu. Brasil, negara dengan tingkat penetrasi internet tinggi, juga mengalami lonjakan hoaks di kalangan orang tua. Pemerintah Brasil kemudian menerapkan penandaan otomatis untuk berita yang belum terverifikasi, bekerja sama dengan WhatsApp dan Telegram untuk memberikan label peringatan pada pesan yang sering diteruskan.
Di Jerman, ada hukum yang ketat: penyebar hoaks yang mengarah pada kepanikan publik bisa dikenai denda hingga 50.000 euro (sekitar Rp850 juta). Pemerintah juga memiliki program NetzDG yang mewajibkan platform digital untuk menghapus berita palsu dalam waktu 24 jam.
Amerika Serikat, dengan lanskap media sosial yang kompleks, menghadapi tantangan serupa. Namun, Facebook dan Google bekerja sama dengan organisasi berita independen untuk menampilkan 'fact-check label' pada artikel yang diragukan kebenarannya. Hasilnya? Hoaks di kalangan pengguna berusia 55 tahun ke atas menurun 29% sejak 2021.
Indonesia masih tertinggal dalam hal kebijakan ini. Kominfo hanya mengandalkan klarifikasi melalui situs TurnBackHoax dan akun media sosial, yang sayangnya tidak cukup efektif dalam menjangkau kelompok lansia yang sudah percaya sepenuhnya pada berita yang mereka baca pertama kali.
Ketika Hoaks Menjadi Ritual Sosial