Dia adalah Adi, videografer yang hidup dalam keremangan studio dan suara bising pengeditan. Kamera menjadi perpanjangan matanya, penadah keheningan yang ia simpan rapat di dalam dada. Lensa kameranya adalah medium yang ia gunakan untuk berbicara pada dunia — dunia yang selalu terasa terlalu bising untuk ia masuki dengan langkah ringan.
Wanita itu, Sari, adalah seorang pelukis yang kerap menggelar pameran kecil di sudut kota. Setiap minggu, Adi menyempatkan diri datang ke galeri, berbaur dalam keramaian dengan alasan dokumentasi. Tapi sejatinya, ia mendokumentasikan sesuatu yang lain: senyumnya yang lembut, gerakan tangannya saat menjelaskan makna sapuan kuas, atau cara ia membenahi hijabnya. Adi merekam semua itu diam-diam, bukan untuk ditampilkan, tapi untuk disimpan. Untuk dirinya sendiri.
Ada malam-malam ketika Adi memutar ulang rekaman itu. Dalam keheningan kamar, ia melihat Sari di layar kecil kameranya. Wajah itu, tawa itu, seakan menjadi nyala lilin dalam gelap hidupnya.
Namun, seiring dengan rasa bahagia yang menghangatkan dada, ada juga rasa sakit yang menusuk. Ia tahu bahwa perasaannya adalah rahasia yang tak berhak terungkap. Ia takut, mungkin lebih takut daripada siapa pun yang pernah memegang kamera dan menyaksikan dunia melalui bingkai kecil.
“Kenapa tidak pernah kau bicara padanya?” tanya Setyo, sahabatnya, suatu malam, saat mereka duduk di sebuah kedai kopi. “Apa gunanya merekam jika hanya untuk dirimu sendiri?”
Adi hanya tersenyum kecil, pahit. Baginya, cinta adalah sebuah seni yang tak butuh panggung, cukup ruang sunyi di balik lensa. Mengungkapkan perasaannya pada Sari terasa seperti melepaskan balon ke udara: indah, tetapi hanya untuk menghilang.
***
Namun takdir, seperti biasa, punya caranya sendiri.
Suatu hari, di sebuah pameran, Sari mendekati Adi. Ia tersenyum, seperti biasa, tetapi kali ini ada sesuatu di matanya yang berbeda — seakan ia tahu lebih dari yang Adi kira.
“Aku sering melihatmu di sini. Kamu suka melukis juga?” tanyanya ringan. Tapi Adi kehilangan kata-kata. Ia hanya mengangguk gugup.
“Boleh aku lihat kameramu?” lanjutnya, menunjuk benda yang selalu digantung di leher Adi.
Detik itu, Adi ingin menolak. Tapi tangan Sari sudah memegang kameranya. Dalam hening yang terasa seperti abad, Sari memutar rekaman-rekaman itu. Ia melihat dirinya sendiri — dalam tawa, dalam keheningan, dalam detail yang hanya mungkin dilihat oleh seseorang yang mencintai.
Sari mengangkat wajahnya, menatap Adi yang kini menunduk malu. Ada kehangatan dalam tatapannya, bukan kemarahan atau perasaan jijik yang Adi takutkan selama ini.
“Kenapa tidak pernah kamu katakan?” tanya Sari dengan suara lembut.
Adi mengangkat bahunya. “Aku hanya berani di balik lensa.”
Sari tersenyum. Ia mengembalikan kamera itu ke tangan Adi. “Mungkin sudah saatnya kamu melihat dunia tanpa lensa itu,” ujarnya sebelum melangkah pergi.
***
Beberapa hari kemudian, Adi melihat pengumuman di media sosial. Sari akan menggelar pameran terbesarnya di taman kota, sebuah acara yang terbuka untuk umum. Dengan gugup, Adi datang, kali ini tanpa membawa kamera. Ia berdiri di antara kerumunan, merasakan setiap detik berjalan lebih lambat dari biasanya.
Sari tampak cantik, lebih cantik dari apa yang pernah ditangkap lensanya. Ketika akhirnya Sari melihat Adi, ia melangkah mendekat dengan sebuah buku kecil di tangan.
“Aku ingin menunjukkan sesuatu,” kata Sari, menyerahkan buku itu pada Adi. Di dalamnya, Adi melihat sketsa dirinya, wajahnya yang serius saat merekam, senyumnya yang malu-malu saat tertangkap kamera.
“Aku juga memperhatikanmu,” kata Sari pelan. “Tapi aku menunggu kamu untuk keluar dari balik lensa itu.”
Adi merasakan dadanya sesak oleh emosi yang tak pernah ia tahu bisa muncul. Dengan keberanian yang baru ia temukan, ia berkata, “Mungkin aku tak pandai bicara. Tapi aku ingin berada di sisimu, bukan hanya di balik kamera.”
Sari tersenyum, memegang tangan Adi. “Maka kita mulai dari sini.”
Malam itu, mereka berjalan bersama di bawah lampu taman, tanpa kamera, tanpa rekaman. Hanya dua hati yang akhirnya berani saling menatap tanpa filter.
Dan untuk pertama kalinya, Adi merasa bahwa dunianya jauh lebih luas dari bingkai kecil lensa kameranya.
Jakarta, 16 Januari 2025
Dikdik Sadikin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H