“Boleh aku lihat kameramu?” lanjutnya, menunjuk benda yang selalu digantung di leher Adi.
Detik itu, Adi ingin menolak. Tapi tangan Sari sudah memegang kameranya. Dalam hening yang terasa seperti abad, Sari memutar rekaman-rekaman itu. Ia melihat dirinya sendiri — dalam tawa, dalam keheningan, dalam detail yang hanya mungkin dilihat oleh seseorang yang mencintai.
Sari mengangkat wajahnya, menatap Adi yang kini menunduk malu. Ada kehangatan dalam tatapannya, bukan kemarahan atau perasaan jijik yang Adi takutkan selama ini.
“Kenapa tidak pernah kamu katakan?” tanya Sari dengan suara lembut.
Adi mengangkat bahunya. “Aku hanya berani di balik lensa.”
Sari tersenyum. Ia mengembalikan kamera itu ke tangan Adi. “Mungkin sudah saatnya kamu melihat dunia tanpa lensa itu,” ujarnya sebelum melangkah pergi.
***
Beberapa hari kemudian, Adi melihat pengumuman di media sosial. Sari akan menggelar pameran terbesarnya di taman kota, sebuah acara yang terbuka untuk umum. Dengan gugup, Adi datang, kali ini tanpa membawa kamera. Ia berdiri di antara kerumunan, merasakan setiap detik berjalan lebih lambat dari biasanya.
Sari tampak cantik, lebih cantik dari apa yang pernah ditangkap lensanya. Ketika akhirnya Sari melihat Adi, ia melangkah mendekat dengan sebuah buku kecil di tangan.
“Aku ingin menunjukkan sesuatu,” kata Sari, menyerahkan buku itu pada Adi. Di dalamnya, Adi melihat sketsa dirinya, wajahnya yang serius saat merekam, senyumnya yang malu-malu saat tertangkap kamera.
“Aku juga memperhatikanmu,” kata Sari pelan. “Tapi aku menunggu kamu untuk keluar dari balik lensa itu.”