Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan - Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, 20 Februari 1965, adalah Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan SDM dan Kebudayaan di sebuah instansi pemerintah, dengan karir di birokrasi selama sekitar 37 tahun, berdomisili di Bogor. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Artikel yang ditulis adalah pendapat pribadi penulis, bukan merupakan pendapat resmi dari instansi penulis bekerja. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kenangan yang Tertinggal di Kursi Lobi

1 Januari 2025   01:00 Diperbarui: 31 Desember 2024   22:50 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di lobi kantor itu, Erie duduk terpaku. Kursi yang sama. Lobi yang sama. Tapi waktu telah berubah. Hanya angin dari kipas di  ruangan yang berusaha menghibur, membelai pipinya yang mulai basah oleh kenangan. 

Di sudut lobi itu, di mana Benny biasanya berdiri dan senyumnya yang lepas, kosong kini.

Tak ada lagi langkah lelaki itu yang tergesa-gesa menjemputnya setiap pukul lima.

Erie ingat. Benny tak pernah menunggu di mobil. Pernah, suatu kali, Erie memintanya. "Benny, kenapa nggak tunggu aja di mobil seperti suami yang lain? Kan lebih nyaman." Benny tertawa pendek menampakkan lesung pipinya, matanya cemerlang namun penuh keteduhan. Benny menjawab dengan nada yang setengah main-main tapi penuh kepastian. "Memangnya aku ini supir?" 

Erie tergelak waktu itu, melupakan sejenak lelahnya kerja sehari penuh. Jawaban itu melekat, menjadi lelucon kecil yang mereka ulang di meja makan, di perjalanan pulang, di kasur yang nyaman. 

Kini, Erie mendengar gema tawa itu dalam diam, seperti pecahan kaca di lantai hatinya.

Masih terbayang, Benny selalu masuk kantornya dengan penuh kehangatan. Menyapa satpam dengan gaya bersahaja, kadang membawa cemilan untuk Erie yang sering lupa makan siang. Tak jarang, Benny hanya diam di sudut, membaca koran atau memandang ke dalam, memastikan Erie keluar tanpa tergesa. 

Ada hari-hari di mana Erie mengeluh tentang pekerjaan, tentang rekan yang menjengkelkan, atau atasan yang sulit. Benny hanya mendengar. Sesekali menimpali, "Lain kali, bawa aku ke ruanganmu. Biar aku tegur bosmu."

"Ah, kamu ini," Erie selalu menjawab sambil tersenyum. Tapi dalam hati, dia tahu. Benny adalah rumah. Rumah yang akan menjemputnya, apa pun yang terjadi.

Namun sore itu, rumahnya runtuh. Benny tidak lagi datang dengan jaket lusuh atau senyumnya yang menampakkan lesung pipinya. Ia tergeletak di ruang gawat darurat, tubuhnya ditarik keluar dari mobil yang seharusnya membawanya ke lobi kantor Erie. Serangan jantung, kata dokter. Cepat dan tiba-tiba. Erie tak sempat mengucapkan apa-apa. Tak sempat memeluk. Tak sempat bertanya, "Kenapa kamu harus terburu-buru untuk menjemputku?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun