Di lobi kantor itu, Erie duduk terpaku. Kursi yang sama. Lobi yang sama. Tapi waktu telah berubah. Hanya angin dari kipas di  ruangan yang berusaha menghibur, membelai pipinya yang mulai basah oleh kenangan.Â
Di sudut lobi itu, di mana Benny biasanya berdiri dan senyumnya yang lepas, kosong kini.
Tak ada lagi langkah lelaki itu yang tergesa-gesa menjemputnya setiap pukul lima.
Erie ingat. Benny tak pernah menunggu di mobil. Pernah, suatu kali, Erie memintanya. "Benny, kenapa nggak tunggu aja di mobil seperti suami yang lain? Kan lebih nyaman." Benny tertawa pendek menampakkan lesung pipinya, matanya cemerlang namun penuh keteduhan. Benny menjawab dengan nada yang setengah main-main tapi penuh kepastian. "Memangnya aku ini supir?"Â
Erie tergelak waktu itu, melupakan sejenak lelahnya kerja sehari penuh. Jawaban itu melekat, menjadi lelucon kecil yang mereka ulang di meja makan, di perjalanan pulang, di kasur yang nyaman.Â
Kini, Erie mendengar gema tawa itu dalam diam, seperti pecahan kaca di lantai hatinya.
Masih terbayang, Benny selalu masuk kantornya dengan penuh kehangatan. Menyapa satpam dengan gaya bersahaja, kadang membawa cemilan untuk Erie yang sering lupa makan siang. Tak jarang, Benny hanya diam di sudut, membaca koran atau memandang ke dalam, memastikan Erie keluar tanpa tergesa.Â
Ada hari-hari di mana Erie mengeluh tentang pekerjaan, tentang rekan yang menjengkelkan, atau atasan yang sulit. Benny hanya mendengar. Sesekali menimpali, "Lain kali, bawa aku ke ruanganmu. Biar aku tegur bosmu."
"Ah, kamu ini," Erie selalu menjawab sambil tersenyum. Tapi dalam hati, dia tahu. Benny adalah rumah. Rumah yang akan menjemputnya, apa pun yang terjadi.
Namun sore itu, rumahnya runtuh. Benny tidak lagi datang dengan jaket lusuh atau senyumnya yang menampakkan lesung pipinya. Ia tergeletak di ruang gawat darurat, tubuhnya ditarik keluar dari mobil yang seharusnya membawanya ke lobi kantor Erie. Serangan jantung, kata dokter. Cepat dan tiba-tiba. Erie tak sempat mengucapkan apa-apa. Tak sempat memeluk. Tak sempat bertanya, "Kenapa kamu harus terburu-buru untuk menjemputku?"
Lobi kantor itu tetap sama. Meja resepsionis masih penuh dengan berkas, aroma kertas masih bercampur kopi. Tapi Erie tahu, semua telah berubah. Dunia telah menghapus bagian terpenting dari hidupnya.
Suatu sore, saat langit Jakarta mulai berwarna jingga, Erie memberanikan diri untuk duduk di kursi tempat Benny biasa menunggunya. Tak ada lagi kehadiran fisiknya, tapi dia bisa merasakan jejaknya di sana.
Dalam bayangannya, Erie melihat Benny berdiri di sudut, melambaikan tangan. Dan seperti biasa, Erie hanya menggeleng dan tersenyum, seolah berkata, "Aku tahu kamu selalu ada di sana."
Erie tak pernah meminta Benny menunggu di mobil lagi. Tapi kini, dia berharap, di suatu tempat yang jauh dari lobi itu, Benny sedang menunggunya. Bukan sekadar dengan senyum dan mata berbinarnya, tapi dengan kesabaran yang tak pernah habis dimakan waktu.
Karena Erie tahu, Benny bukan hanya penjemput. Dia adalah pelabuhan. Dan setiap kenangan yang tertinggal di lobi itu adalah perahu kecil yang akan selalu membawa Erie pulang.
Bogor, 29 Desember 2024
(ditulis berdasarkan kisah nyata)
Dikdik Sadikin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H