Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan - Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, 20 Februari 1965, adalah Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan SDM dan Kebudayaan di sebuah instansi pemerintah, dengan karir di birokrasi selama sekitar 37 tahun, berdomisili di Bogor. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Artikel yang ditulis adalah pendapat pribadi penulis, bukan merupakan pendapat resmi dari instansi penulis bekerja. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

Internet of Things (IoT): Masa Depan Kota Baru dengan Tantangan Lama

26 Desember 2024   22:16 Diperbarui: 26 Desember 2024   22:16 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber www.visiniaga.com

Internet of Things (IoT) adalah konsep yang memungkinkan perangkat fisik untuk terhubung melalui internet dan berkomunikasi tanpa campur tangan manusia. IoT memungkinkan perangkat untuk mengumpulkan, bertukar data, dan mengendalikan diri secara otomatis. Di tengah kepungan perangkat yang mengelilingi kita --- ponsel, lemari es pintar, lampu yang bisa menyala dengan perintah suara --- IoT menjanjikan dunia yang saling terhubung. Namun, seperti halnya janji-janji besar lainnya, ia datang dengan kebisingan, kadang-kadang harapan, dan tak jarang dengan ancaman.

Ketika Sundar Pichai, CEO Google, mengatakan bahwa "AI dan teknologi berbasis data akan menjadi landasan masa depan manusia," ia mungkin tidak membayangkan bahwa fondasi itu akan menciptakan ekosistem yang mampu berbicara satu sama lain tanpa campur tangan manusia. Lemari es pintar yang memberi tahu Anda bahwa susu sudah habis atau thermostat yang mengatur suhu rumah berdasarkan kebiasaan Anda bukan lagi fiksi ilmiah. Mereka adalah bagian dari IoT, lanskap digital di mana benda-benda menjadi agen yang aktif.

IoT memiliki banyak manfaat, di antaranya: meningkatkan kenyamanan dan keamanan, mengubah cara berinteraksi dengan teknologi, membantu perencanaan kota dan pemeliharaan infrastruktur, serta memantau pasien dari jarak jauh.

Dalam skema besar IoT, efisiensi menjadi mantra. Menurut laporan McKinsey, IoT diproyeksikan menghasilkan nilai ekonomi sebesar $11,1 triliun pada tahun 2025. Pabrik-pabrik menggunakan sensor untuk memonitor mesin, memastikan bahwa setiap roda gigi berputar tanpa cacat. Sebagai contoh, General Electric mengimplementasikan sistem IoT pada mesin jet mereka, mengurangi biaya perawatan hingga 20%. Petani di Belanda memanfaatkan teknologi ini untuk mengukur kelembaban tanah, mengoptimalkan penggunaan air, dan meningkatkan hasil panen hingga 30%. Bahkan di rumah, IoT mengubah cara kita mengelola listrik, air, dan gas. Sebuah studi dari International Energy Agency (IEA) menunjukkan bahwa rumah pintar dapat menghemat energi hingga 10-15% per tahun. Tetapi efisiensi itu, seperti segala sesuatu yang terlalu apik, memiliki sisi gelapnya.

Bayangkan sebuah rumah pintar yang disusupi peretas. Pada tahun 2021, sebuah kasus di Amerika Serikat menunjukkan bagaimana peretas mengambil alih sistem pemanas dan pendingin sebuah rumah pintar, menyebabkan kerugian besar bagi penghuni.

Di kota-kota besar seperti Tokyo, Jepang, pemerintah menghadapi tantangan dalam mengamankan jaringan kota pintar mereka dari serangan siber. IoT tidak hanya menghubungkan perangkat, tetapi juga membuka pintu untuk risiko yang lebih kompleks.

Di sini, kita dihadapkan pada dilema modern: sejauh mana kita menyerahkan kendali kepada teknologi? Filsuf Martin Heidegger pernah berkata bahwa teknologi tidak hanya alat, tetapi cara untuk mengungkapkan dunia. Dengan IoT, dunia yang diungkapkan adalah dunia yang lebih terstruktur, tetapi juga lebih rentan.

Sumber: Pusat Pelayanan Teknologi Informasi, Universitas Medan Area 
Sumber: Pusat Pelayanan Teknologi Informasi, Universitas Medan Area 

Namun, IoT bukan sekadar ancaman. Dalam pandemi global COVID-19, teknologi ini menjadi penyelamat. Rumah sakit menggunakan IoT untuk memonitor pasien secara real-time, mengurangi beban tenaga medis. Perusahaan logistik seperti DHL mengandalkan sensor untuk memastikan vaksin didistribusikan pada suhu yang tepat. Di Korea Selatan, pemerintah menggunakan IoT untuk melacak kontak dan memonitor penyebaran virus, sebuah langkah yang berhasil menekan angka kasus hingga 80% lebih rendah dibanding negara-negara dengan pendekatan konvensional.

Tetapi seperti halnya jembatan, struktur ini membutuhkan fondasi yang kokoh: regulasi yang tegas, etika yang mengawal, dan kesadaran bahwa tidak semua yang dapat dihubungkan harus dihubungkan. Di Uni Eropa, misalnya, General Data Protection Regulation (GDPR) menjadi landasan dalam melindungi data pengguna IoT, sementara negara-negara seperti Singapura memperkenalkan Smart Nation Initiative yang berfokus pada keamanan dan keberlanjutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun