Internet of Things (IoT) adalah konsep yang memungkinkan perangkat fisik untuk terhubung melalui internet dan berkomunikasi tanpa campur tangan manusia. IoT memungkinkan perangkat untuk mengumpulkan, bertukar data, dan mengendalikan diri secara otomatis. Di tengah kepungan perangkat yang mengelilingi kita --- ponsel, lemari es pintar, lampu yang bisa menyala dengan perintah suara --- IoT menjanjikan dunia yang saling terhubung. Namun, seperti halnya janji-janji besar lainnya, ia datang dengan kebisingan, kadang-kadang harapan, dan tak jarang dengan ancaman.
Ketika Sundar Pichai, CEO Google, mengatakan bahwa "AI dan teknologi berbasis data akan menjadi landasan masa depan manusia," ia mungkin tidak membayangkan bahwa fondasi itu akan menciptakan ekosistem yang mampu berbicara satu sama lain tanpa campur tangan manusia. Lemari es pintar yang memberi tahu Anda bahwa susu sudah habis atau thermostat yang mengatur suhu rumah berdasarkan kebiasaan Anda bukan lagi fiksi ilmiah. Mereka adalah bagian dari IoT, lanskap digital di mana benda-benda menjadi agen yang aktif.
IoT memiliki banyak manfaat, di antaranya: meningkatkan kenyamanan dan keamanan, mengubah cara berinteraksi dengan teknologi, membantu perencanaan kota dan pemeliharaan infrastruktur, serta memantau pasien dari jarak jauh.
Dalam skema besar IoT, efisiensi menjadi mantra. Menurut laporan McKinsey, IoT diproyeksikan menghasilkan nilai ekonomi sebesar $11,1 triliun pada tahun 2025. Pabrik-pabrik menggunakan sensor untuk memonitor mesin, memastikan bahwa setiap roda gigi berputar tanpa cacat. Sebagai contoh, General Electric mengimplementasikan sistem IoT pada mesin jet mereka, mengurangi biaya perawatan hingga 20%. Petani di Belanda memanfaatkan teknologi ini untuk mengukur kelembaban tanah, mengoptimalkan penggunaan air, dan meningkatkan hasil panen hingga 30%. Bahkan di rumah, IoT mengubah cara kita mengelola listrik, air, dan gas. Sebuah studi dari International Energy Agency (IEA) menunjukkan bahwa rumah pintar dapat menghemat energi hingga 10-15% per tahun. Tetapi efisiensi itu, seperti segala sesuatu yang terlalu apik, memiliki sisi gelapnya.
Bayangkan sebuah rumah pintar yang disusupi peretas. Pada tahun 2021, sebuah kasus di Amerika Serikat menunjukkan bagaimana peretas mengambil alih sistem pemanas dan pendingin sebuah rumah pintar, menyebabkan kerugian besar bagi penghuni.
Di kota-kota besar seperti Tokyo, Jepang, pemerintah menghadapi tantangan dalam mengamankan jaringan kota pintar mereka dari serangan siber. IoT tidak hanya menghubungkan perangkat, tetapi juga membuka pintu untuk risiko yang lebih kompleks.
Di sini, kita dihadapkan pada dilema modern: sejauh mana kita menyerahkan kendali kepada teknologi? Filsuf Martin Heidegger pernah berkata bahwa teknologi tidak hanya alat, tetapi cara untuk mengungkapkan dunia. Dengan IoT, dunia yang diungkapkan adalah dunia yang lebih terstruktur, tetapi juga lebih rentan.
Namun, IoT bukan sekadar ancaman. Dalam pandemi global COVID-19, teknologi ini menjadi penyelamat. Rumah sakit menggunakan IoT untuk memonitor pasien secara real-time, mengurangi beban tenaga medis. Perusahaan logistik seperti DHL mengandalkan sensor untuk memastikan vaksin didistribusikan pada suhu yang tepat. Di Korea Selatan, pemerintah menggunakan IoT untuk melacak kontak dan memonitor penyebaran virus, sebuah langkah yang berhasil menekan angka kasus hingga 80% lebih rendah dibanding negara-negara dengan pendekatan konvensional.
Tetapi seperti halnya jembatan, struktur ini membutuhkan fondasi yang kokoh: regulasi yang tegas, etika yang mengawal, dan kesadaran bahwa tidak semua yang dapat dihubungkan harus dihubungkan. Di Uni Eropa, misalnya, General Data Protection Regulation (GDPR) menjadi landasan dalam melindungi data pengguna IoT, sementara negara-negara seperti Singapura memperkenalkan Smart Nation Initiative yang berfokus pada keamanan dan keberlanjutan.