“Kita mau kemana, Bu?” tanya Dani sambil melihatIbu.
“Kita mau naik helikopter, Nak,” jawab Ibu sambil tersenyum simpul.
“Naik helikopter? Terus kita kemana, Bu?”
“Ke tempat yang enak, Nak. Kan tadi Dani rewel gara-gara macet. Jadi, sekarang Dani diangkut naik helikopter supaya nggak nangis lagi.”
“Wah, asyik banget. Nanti di tempat yang enak itu kita ketemu Ayah juga nggak, Bu?”
“Pasti. Ayah udah nunggu di sana, Nak.”
Percakapan antara Dani dan Ibu sedikit menghibur ditengah-tengah situasi yang buruk ini. Para pengungsi berjalan menuju padangrumput sesuai dengan arahan personil tentara.
Angin yang berhembus semakin kencang dan hujan salju yang lebat membuat kami sulit untuk berjalan. Dani dan Ibu berpeganganerat pada bahuku agar tidak terpeleset.
Untung saja padang rumput yang dituju tidak terlalujauh dari mobil kami jadi tak perlu berjuang terlalu keras untuk sampai disini. Sudah banyak orang yang berkumpul dan antri untuk masuk ke dalam helikopter.Aku tak tahu berapa jumlah helikopter yang ada. Yang jelas jumlahnya sangat banyak.
Angin bertiup semakin kencang membuatbutiran-butiran salju berterbangan. Orang-orang berusaha untuk tetap berdiridengan susah payah. Aku melihat beberapa orang terjatuh akibat angin kencang ini. Sementara aku, Dani, dan Ibu berpegangan erat pada papan penunjuk jalanyang juga sudah bergoyang-goyang. Antrian orang yang ingin menaiki helikopter menjadi kacau. Tak ada lagi yang berbaris rapih. Semuanya berebut masuk ke dalam helikopter. Para personil tentara mencoba untuk menarikorang-orang yang menyerobot antrian. Tapi percuma saja, semua orang ingin cepat-cepat naik dan pergi dari sini karena badai yang semakin mendekat.
Helikopter pertama berhasil mengudara dengan mulus tanpa ada gangguan. Tak lama kemudian helikopter kedua menyusul. Tapi sayang,tiba-tiba saja helikopter kedua tersebut berubah warna menjadi putih, lalu mesin dan baling-baling mati. Helikopter tersebut membeku dan jatuh ke tanahdengan kencangnya.