“Kenapa sayang?” tanya Ibu dengan sabar.
“Baterainya habis, Bu.”
“Ya udah. Kamu main game di HP kamu aja, ya.”
“Jam berapa macetnya selesai, Bu?”
“Sabar ya, Nak.”
Ibu kembali mengusap-ngusap kepala Dani denganlembut. Tapi sepertinya kesabaran Dani sudah habis. Ia terus menanyakan kapan macet ini akan berakhir dengan nada kesal.
Dan ia benar-benar sudah kesal dengan kondisi ini sehingga ia memukul-mukul telinganya dengan telapak tangannya. Ia jugamemukul-mukul kedua kakinya dengan kedua tangannya sambil berteriak-teriak penuh emosi. Ibu berusaha menenangkan Dani dengan sabar.
Tapi keadaan semakin memburuk. Sekarang Dani memukul-mukul jok mobil dengan keras dan membenturkan kepalanya ke jendela beberapa kali sambil terus berteriak-teriak. Setelah itu ia mulai menggigit tangannya sendiri. Dengan sigap, aku dan Ibu langsung menarik tangannya.
“Kamu nggak boleh gitu!” Ibu memperingatkan Danidengan suara keras. “Nanti tangan kamu bisa berdarah!” lanjut Ibu. Dani tampaknya tidak peduli dengan perkataan Ibu. Ia masih berteriak-teriak dan berusaha menarik kedua tangannya dari genggamanku dan Ibu.
“Coba kamu ambil obat penenang di dalem tas merah,”pinta Ibu kepadaku.
Aku langsung keluar dari mobil dan menaiki bak mobil. Suhu udara yang dingin menusuk tak membuatku gentar. Aku mengacak-ngacak isi tas berwarna merah yang berisi pakaian. Aku sempat berpikir bagaimana Ibu bisa menaruh obat di dalam tas yang ditaruh di luar ruangan. Padahal semua obat harus ditaruh di dalam ruangan dengan suhu stabil.