Fakta dilapangan menunjukkan bahwa pembahasan RUU Minerba terkesan  tertutup, terburu-buru dan tak taat asas keterbukaan akses masyarakat terhadap informasi RUU, hal itu disebabkan hanya ada 2 dokumen yang dapat diakses oleh publik yaitu risalah paparan tenaga ahli atas kajian RUU tentang Minerba dan Risalah harmonisasi RUU tentang Minerba (Dwi,2019).Â
Minimnya akses tersebut mengakibatkan masyarakat sulit mengakses draft dan DIM (daftar invetaris masalah). Tentunya hal tersebut bertentangan dengan asas keterbukaan sebagaimana diatur dalam pasal 5 huruf g UU No 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan (UU P3), asas keterbukaan ialah:
dalam pembetukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka, dengan demikian semua lapisan masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan masukan
Selain harus memenuhi asas keterbukaan, pembentukan sebuah UU juga harus memenuhi prinsip partisipatif rakyat dalam memberikan masukan, setiap RUU harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat sebagaimana amanat pasal 96 ayat 1 UU P3.
Dalam pasal tersebut menjelaskan bahwa masyarakat mempunyai hak untuk mengetahui maupun memberikan masukan yang dapat disampaikan melalui rapat umum dengar pendapat, kunjungan kerja, sosialisasi, seminar, lokakarya dan diskusi publik.
Dengan tidak tepenuhinya asas keterbukaan dan prinsip partisipatif dalam pembahasan RUU Minerba, masyarakat menganggap bahwa terdapat muatan politik dan kepentingan oligarki dalam pembuatan RUU tesebut ( dikutip dari rmol.id ).Â
Terlebih lagi proses pengesahan dinilai memanfaatkan situasi karena tetap dibahas dan dilakukan rapat meskipun sedang terjadi pandemi Covid-19, sehingga masyarakat tak bisa berpartisipasi maupun melakukan advokasi (Yurika, 2020).
Tak salah kemudian masyarakat menganggap apa yang dilakukan legislatif senada dengan adagium Communi Observantia Non Est Recedendum, yang berarti tindakan yang dilakukan oleh seseorang menandakan maksud dan tujuan didalamnya.
Hilangnya Pasal 165 Tentang Sanksi PidanaÂ
Menurut Remmelink pada dasarnya ketentuan pidana bersifat ultimum remedium, namun dalam hal sanksi administratif sering tidak dipatuhi dengan baik, maka perlu diberikan sanksi pidana yang bertujuan agar masyarakat dan penyelenggara negara tak berbuat se-enaknya. Atas dasar konsep tersebut kemudian melatarbelakangi pentingnya sanksi pidana dalam UU Minerba, yang diatur dalam pasal 165 yang berbunyi:
Setiap orang yang mengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK yang bertentangan dengan UU ini dan menyalahgunakan kewenangan diberi sanksi pidana paling lama 2 tahun dan denda Rp. 2.00.000.000,00