Mohon tunggu...
Indra Fredika
Indra Fredika Mohon Tunggu... Lainnya - Asisten Advokat

Asisten Advokat di Lembaga Bantuan Hukum Ansor Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Polemik RUU Minerba

29 Mei 2020   22:23 Diperbarui: 6 Juni 2020   02:37 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia merupakan negara yang mempunyai kekayaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah, salah satunya mineral dan batu bara (Minerba). Konsep penguasaan negara terhadap kekayaan minerba diatur dalam UU No 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batu Bara ( UU Minerba).

UU Minerba merupakan representasi dari pasal 33 Ayat 3 UUD NRI 1945 yang menyebutkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Pasal tersebut mempunyai arti bahwa kekayaan alam yang terkandung didalmnya termasuk minerba digunakan untuk kepentingan rakyat melalui prinsip kedaulatan rakyat indonesia. Sehingga pengertian " dikuasai oleh negara " harus diartikan negara memiliki hak penguasaan yang bertanggung jawab demi kemakmuran rakyat ( Ruslina, 2012).

Definisi penguasaan negara yang dimaksud pasal 33 Ayat 3 UUD NRI 1945 dijelaskan lebih detail dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 25/PUU-VIII/2010 yang menyatakan bahwa:

rakyat memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuurdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan kemakmuran rakyat. 

Salah satu fungsi yang paling vital adalah fungsi pengaturan (regelendaad), fungsi ini dijalankan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama pemerintah dan regulasi oleh pemerintah.

Berkaitan dengan fungsi pengaturan tersebut, DPR mengesahkan Revisi Undang-Undang No 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batu Bara (RUU Minerba) untuk menjadi undag-undang dalam sidang paripurna, yang mana hasil sidang tersebut akan dibahas dalam pembahasan tingkat dua (dikutip dari Kompas). 

Namun belakang ini diketahui bahwa RUU Minerba tersebut menuai kritik dan penolakan dari Aliansi Mahasiswa, Masyarakat, Non-Government Organisation (NGO), dan pegiat lingkungan. Mereka beranggapan bahwa RUU Minerba lebih berisi muatan kepentingan pengusaha tambang dan memuat banyak pasal yang tidak ramah lingkungan daripada kepentingan rakyat.

Tak hanya itu saja, permasalahan juga di picu dengan minimnya partisipasi publik dan penyusunan dilakukan secara tertutup sehingga disinyalir mengandung unsur kecacatan formil.

Kecacatan Formil

Proses perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan mengenai RUU Minerba yang berkaitan dengan pengelolaan SDA yang penting bagi negara serta menguasai hajat hidup orang banyak seharusnya dilakukan dengan melibatkan perguruan tinggi, NGO (seperti JATAM, Greenpeace) dan masyarakat khususnya masyarakat terdampak.

Fakta dilapangan menunjukkan bahwa pembahasan RUU Minerba terkesan  tertutup, terburu-buru dan tak taat asas keterbukaan akses masyarakat terhadap informasi RUU, hal itu disebabkan hanya ada 2 dokumen yang dapat diakses oleh publik yaitu risalah paparan tenaga ahli atas kajian RUU tentang Minerba dan Risalah harmonisasi RUU tentang Minerba (Dwi,2019). 

Minimnya akses tersebut mengakibatkan masyarakat sulit mengakses draft dan DIM (daftar invetaris masalah). Tentunya hal tersebut bertentangan dengan asas keterbukaan sebagaimana diatur dalam pasal 5 huruf g UU No 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan (UU P3), asas keterbukaan ialah:

dalam pembetukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka, dengan demikian semua lapisan masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan masukan

Selain harus memenuhi asas keterbukaan, pembentukan sebuah UU juga harus memenuhi prinsip partisipatif rakyat dalam memberikan masukan, setiap RUU harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat sebagaimana amanat pasal 96 ayat 1 UU P3.

Dalam pasal tersebut menjelaskan bahwa masyarakat mempunyai hak untuk mengetahui maupun memberikan masukan yang dapat disampaikan melalui rapat umum dengar pendapat, kunjungan kerja, sosialisasi, seminar, lokakarya dan diskusi publik.

Dengan tidak tepenuhinya asas keterbukaan dan prinsip partisipatif dalam pembahasan RUU Minerba, masyarakat menganggap bahwa terdapat muatan politik dan kepentingan oligarki dalam pembuatan RUU tesebut ( dikutip dari rmol.id ). 

Terlebih lagi proses pengesahan dinilai memanfaatkan situasi karena tetap dibahas dan dilakukan rapat meskipun sedang terjadi pandemi Covid-19, sehingga masyarakat tak bisa berpartisipasi maupun melakukan advokasi (Yurika, 2020).

Tak salah kemudian masyarakat menganggap apa yang dilakukan legislatif senada dengan adagium Communi Observantia Non Est Recedendum, yang berarti tindakan yang dilakukan oleh seseorang menandakan maksud dan tujuan didalamnya.

Hilangnya Pasal 165 Tentang Sanksi Pidana 

Menurut Remmelink pada dasarnya ketentuan pidana bersifat ultimum remedium, namun dalam hal sanksi administratif sering tidak dipatuhi dengan baik, maka perlu diberikan sanksi pidana yang bertujuan agar masyarakat dan penyelenggara negara tak berbuat se-enaknya. Atas dasar konsep tersebut kemudian melatarbelakangi pentingnya sanksi pidana dalam UU Minerba, yang diatur dalam pasal 165 yang berbunyi:

Setiap orang yang mengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK yang bertentangan dengan UU ini dan menyalahgunakan kewenangan diberi sanksi pidana paling lama 2 tahun dan denda Rp. 2.00.000.000,00

Mengenai tindakan yang termasuk penyalahgunaan wewenang diatur lebih spesialis dalam pasal 17 ayat 2 UU No 30 Tahun 2004, sedangkan perbuatan yang bertentangan dengan hukum, menurut lamintang bisa diartikan sebagai:

  1. bertentangan dengan hak obyektif ( in strijd met het objectif recht )
  2. bertentangan dengan hak subyektif orang lain ( in strijd met het subjectif van een ander )
  3. tanpa hak ( zondereigen ) dan tanpa wewenang ( onbevoeghdeid )
  4. bertentangan dengan hukum tidak tertulis

Sayangnya, dalam RUU Minerba yang telah disahkan DPR terdapat penghapusan pasal 165, dengan demikian pejabat yang melakukan penyalahgunaan wewenang dan bertentangan dengan UU tak dapat diberikan sanksi pidana karena pasal 165 telah dihapus. Sehingga ditakutkan berdampak pada peluang KKN terbuka lebar, padahal kita ketahui bersama sektor pertambangan khususnya dalam hal perizinan merupakan penyumbang kasus korupsi dengan nilai kerugiaan negara sangat banyak.

Dengan demikian semakin jelas RUU Minerba tidak berpihak kepada rakyat, namun lebih berpihak kepada pejabat berwenang dalam memanfaatkan tambang sebesar-besarnya untuk kemakmuran diri sendiri atau memperkaya orang lain (dikutip dari media indonesia).

Rawan Kriminalisasi

Soetandyo Wignjosoebroto mengemukakan bahwa kriminalisasi ialah suatu pernyataan bahwa perbuatan tertentu harus dinilai sebagai perbuatan pidana yang merupakan hasil dari suatu penimbangan-penimbangan normatif yang wujud akhirnya adalah suatu keputusan (decisions). Berhubungan dengan masalah kriminalisasi, Muliadi menjelaskan mengenai beberapa doktrin yang harus diperhatikan sebagai pedoman yaitu

  1. tidak boleh terkesan overkriminalisasi;
  2. kriminalisasi harus mengandung unsur korban (victim) baik aktual maupun potensial;
  3. harus menghasilkan peraturan yang enforceable;
  4. harus memperoleh dukungan publik;
  5. harus mengandung unsur subsosialitet mengakibatkan bahaya bagi masyarakat.

Berangkat dari penjelasan diatas, ternyata dalam muatan RUU minerba terdapat pasal yang dianggap rawan kriminalisasi, yakni pasal 162 yang mengatur bahwa:

setiap orang yang merintangi atau menghalangi kegiatan pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR atau SIPB akan dipidana maksimal 1 tahun dan denda maksimal Rp. 100.000.000,00. 

Apabila melihat penjelasan diatas, mengenai frasa "merintangi atau menghalangi kegiatan pertambangan" dapat menimbulkan penafsiran yang obscur dan rawan kriminalisasi serta menjadi pasal karet. Ambil contoh, warga sekitar yang melakukan demonstrasi penolakan kegiatan pertambangan, bisa saja dianggap menghalangi apabila mengacu pada pasal karet tersebut. Tentunya hal ini akan semakin memperkuat posisi pemegang izin tambang terhadap warga sekitar, yang ingin menolak eksploitasi tambang. Padahal apabila dicermati dalam pertimbangan hukum putusan MK No 32/PUU-VIII/2010, dalam hal penetapan wilayah pertambangan harus dengan mengacu pendapat masyarakat yang berkaitan sesuai dengan konteks hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta hak bertempat tinggal.

Ter-reduksinya Kewajiban Reklamasi

Dalam UU Minerba juncto PP Nomor 78 Tahun 2o1o tentang reklamasi pasca tambang disebutkan bahwa pengusaha tambang harus menutup lubang bekas tambang paling lambat 30 hari kalender setelah tidak ada kegiatan tambang.

Akan tetapi dalam muatan RUU Minerba pasal 99 ayat 2 tidak dijelakan jenis-jenis peruntukan lahan pasca tambang yang diperbolehkan, sehingga menimbulkan penafsiran luas dan membuka celah bagi pengusaha tambang untuk menjadikan lubang bekas tambang untuk bangunan irigasi dan pariwisata (Kaltimtoday, 2020).

Hal ini tentu akan semakin mempermudah pengusaha tambang untuk lari dari kewajibannya dalam melakukan reklamasi, karena pengusaha tambang tak perlu lagi mengeluarkan dana yang besar untuk melakukan reklamasi, cukup dengan menjadikan lubang bekas tambang menjaid tempat wisata.

Berdasarkan hal tersebut kemudian menimbulkan anggapan bahwa dalam RUU Minerba terdapat pasal-pasal titipan yang dapat mempermulus laju para pengusaha tambang yang ada di indonesia (Kaltimtoday, 2020).

Parahnya akan membawa petaka bagi masyarakat sekitar, yakni bisa dilihat sejak tahun 2011 hingga penghujung 2019 sedikitnya ada 36 orang meninggal akibat lubang tambang tanpa reklamasi dan seluruh korban mayoritas anak-anak (regional kompas, 2019)

Kesimpulan

Indonesia sebagai negara yang menganut prinsip welfare state yang terakomodir dalam tujuan negara, salah satunya yakni memajukan kesejahteraan umum, serta dalam pasal 33 ayat 3 UUD NRI 1945 menjelaskan bahwa hak menguasai negara harus bertujuan untuk kemakmuran rakyat.

Untuk itu sudah seyogyanya dalam pembuatan regulasi yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak harus melibatkan masyarakat terdampak dan dengan didasarkan pada prinsip keadilan dan kemanfaatan, bukan malah mengedepankan politik hukum dan kepentingan oligarki.

Hal tersebut dibuktikan dalam realitas saat pandemi Covid-19, dimana seharusnya negara baik pemerintah maupun legislatif fokus untuk penanganan  Covid-19 dan keselamatan rakyat, namun yang terjadi legislatif justru lebih fokus pada law making process RUU Minerba, tentunya hal tersebut bertentangan dengan asas salus populi suprema lex esto dan konsep greatest happines for the greatest number yang berarti sebesar-besarnya kebahagiaan atau kemakmuran masyarakat adalah sebesar-besar yang diharapkan.

Sungguh mustahil rasanya legislatif akan membatalkan RUU Minerba yang sudah disahkan saat rapat, untuk itu langkah konstitusional yang perlu disiapkan adalah menginventarisir pasal-pasal yang bermasalah. Sehingga nantinya dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan judicial review ke MK, apabila  RUU Minerba sudah diundangkan dan mendapat nomenklatur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun