Mohon tunggu...
Difa Ramadhanti
Difa Ramadhanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Andalas Fakultas Ilmu Budaya Jurusan Sastra Indonesia

Masih belajar dan terus berkembang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Ingin Bunda

25 Februari 2021   18:37 Diperbarui: 25 Februari 2021   18:59 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ini siapa, Kak?" Anin yang sedari tadi hanya diam akhirnya bersuara. Daritadi ia hanya melihat gundukan tersebut dengan heran sembari bertanya apa maksud semua ini.

Tiba-tiba saja kakaknya terjatuh lalu menangis. Ketika kakaknya duduk barulah terlihat oleh Anin tulisan yang terdapat di atas batu tersebut. Anin membacanya dengan serius. Belum selesai Anin membaca, kakaknya berteriak ke arahnya. "INI BUNDA YANG KAMU CARI SETIAP HARI, ANIN!! PUSARA INI TEMPAT BUNDAMU TINGGAL." Anin terkejut. Wajahnya pucat. Ia kembali membaca batu tersebut. Tertulis nama panjang bundanya, kapan ia lahir, dan kapan ia meninggal. Anin tidak percaya dengan semua ini. Ia tidak mengerti. Ia ingat sekali bahwa tadi pagi ia memeluk Bundanya. Ia juga ingat wajah bundanya ketika memakan nasi goreng buatannya. Bunda senang dan menghabiskannya. Tapi, kenapa tiba-tiba pusara itu tertulis nama bundanya?

"Kak Ajeng berbohong. Tadi pagi Kak Ajeng lihat sendiri bagaimana Bunda menghabiskan nasi goreng buatanku. Kak Ajeng juga lihat, kan, aku memeluk Bunda sebelum berangkat pagi tadi?"

Ajeng masih menangis terisak-isak. Ia menoleh ke arah adiknya lalu tersenyum miris. "Kamu berhalusinasi, Anin. Selama ini kamu terjebak di dalam skenario yang kamu buat, seolah-olah Bunda masih hidup. Alam bawah sadarmu memilih untuk membuang fakta yang ada. Menguburnya jauh di dalam pikiranmu hingga tanpa sadar hilang begitu saja, tanpa jejak, tanpa bekas. Kamu memilih hidup di dalam lingkaran ilusi yang kamu buat dan jadilah seperti ini. Setiap hari kamu menganggap bahwa Bunda bekerja di tempat yang jauh dan pulang hanya sesekali. Ketika tiba waktunya Bunda pulang, alam bawah sadarmu mempermainkan kamu seolah-olah Bunda ada di rumah, seperti tadi pagi. Tapi yang aku lihat setiap hari adalah, kamu berbicara sendiri, Anin. Tidak ada Bunda. Hanya kamu dan halusinasi yang kamu buat."

Tiba-tiba saja Anin berlari ke arah nisan itu. Ia berteriak, histeris. Memanggil-manggil bundanya. Ia menggeleng dengan kuat. Ia merintih sambil berkata, "tidak mungkin." Berkali-kali ia ulang kalimat itu. Pak Bondan hanya bisa menunduk melihat kedua perempuan itu.

"Satu tahun, Anin. Kamu hidup di dalam halusinasimu selama satu tahun. Tidakkah kamu mau berhenti dan melanjutkan hidupmu? Di atas sana Bunda pasti tidak suka. Bunda pasti sangat sedih, Anin. Bunda pasti ingin kamu menerima semua ini dengan ikhlas dan keluar dari bayang-bayang halusinasimu. Ayo, Anin. Aku tahu kamu bisa. Kamu hanya perlu menerima fakta dan tidak menyangkalnya."

Anin terus berteriak memanggil bundanya sambil terus menangis. Ia tidak pernah menyangka bahwa apa yang ada di depannya, orang yang paling ia cintai, paling ia butuhkan, ternyata sudah tidak tinggal di dunia yang sama dengannya.

Tiba-tiba saja Anin tersungkur. Gelap. Ia tidak bisa melihat apa-apa.

Bunda, kembalilah. Aku ingin Bunda ada dalam duniaku. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun