"Ajeng, sudah lama tidak datang."
Kakaknya tersenyum, masih dengan wajahnya yang muram. "Iya, Pak Bondan, saya sibuk bekerja. Jadi, baru sekarang saya bisa mampir."
Pak Bondan tersenyum dan mengangguk. "Siapa namamu, Nak?"
Laki-laki tua yang dipanggil Pak Bondan ini mengusap kepala Anin. "Aku Anin," jawabnya.
Pak Bondan menatap Ajeng dengan heran. "Dia?"
Ajeng mengangguk. "Iya, ini adik saya yang sering saya ceritakan ke Bapak."
Anin tambah bingung. "Kakak kenal dengan Pak Bondan? Siapa dia, Kak? Lalu, mana Bunda?"
Pak Bondan terkejut. "Bunda?"
"Iya, Bunda Anin dan Kak Ajeng. Pak Bondan kenal Bunda, kan? Pak Bondan lihat tidak? Kata Kak Ajeng, Bunda sudah ada di sini. Tapi, di mana? Ini, kan, rumah Pak Bondan."
"Bukan di sini, Anin. Tapi di sana. Di balik pagar tinggi itu." Ajeng menunjuk pagar di samping rumah Pak Bondan. Ajeng berjalan menuju pagar tersebut. Di dekat pagar itu terdapat pintu kecil yang bisa dilewati orang-orang. Anin mengikuti kakaknya, disusul Pak Bondan di belakangnya. Setelah berjalan sejauh tiga ratus meter, Ajeng berhenti di depan gundukan tanah yang dikelilingi rerumputan liar.
"Maaf, Nak. Saya belum sempat merapikan rumput-rumput tersebut. Saya cabuti dulu." Pak Bondan lantas langsung mencabuti rerumputan yang ada di atas gundukan tersebut.