HAMPIR 15 tahun kehidupan Suu Kyi dihabiskan dengan status sebagai tahanan. Yakni antara tahun 1989 hingga 2010. Dia mendapat hadiah Nobel Perdamaian saat berada dalam tahanan rumah, tahun 1991.
Reputasi Suu Kyi sebagai pejuang demokrasi dan perdamaian melambung ke angkasa. Tetapi citranya memudar atas aksi 'diam seribu basa' saat warga muslim di Rakhine mengalami penindasan.
Suu Kyi dianggap 'tutup mata' terhadap diskriminasi politik dan rasial terhadap warga muslim Rohingnya. Suu Kyi malah sempat 'berbaik-baik' kepada militer dengan mengatakan mereka merupakan 'anak manis'. Tetapi tak dinyana, para 'anak manis' itu kemudian menjungkalkan kekuasaannya dengan dalih adanya kecurangan dalam pemilu.
Sejarah Burma identik dengan kekuasaan junta militer. Yangon (dulu Rangoon) diperintah junta sampai angin perubahan berembus pada 2011. Pemilu pertama yang dianggap 'terbuka' baru dihelat tahun 2015, alias 67 tahun setelah merdeka.
Pemilu melambungkan Suu Kyi naik ke tampuk kekuasaan. Dengan cepat namanya digaungkan sebagai 'ikon demokrasi' yang berani menantang jenderal militer otoriter. Tetapi krisis Rohingnya melunturkan kembali citranya.
Apa yang mendorong tentara melakukan kudeta? Secara resmi, partai oposisi dan militer menuduh partai Suu Kyi melakukan kecurangan. Mereka menuding ada manipulasi daftar pemilih. Tentara menggeledah kantor partai dan menyita sejumlah server komputer.
China memveto upaya Dewan Keamanan PBB untuk menanggapi kudeta di Myanmar (Selasa, 02/02/2021). Â Menerbitkan dugaan bahwa negara komunis itu berada di balik aksi perebutan kekuasaan.
Pemerintahan Joe Biden segera menjatuhkan sanksi (09/02/2021). Sanksi dijatuhkan terhadap para pemimpin militer, keluarganya, dan bisnis yang terkait dengan mereka. AS juga memblokir akses militer terhadap dana pemerintah Myanmar yang disimpan di AS senilai US$1 miliar atau Rp14 triliun.
Nasib Rakhine
Kini, bayang-bayang kekuasaan militer kembali menghantui. Nasib etnis minoritas Rohingnya di Rakhine kian tak menentu.
Bagi warga Myanmar, kudeta di awal bulan ini mengingatkan mereka pada kudeta tahun 1988. Wai Wai Nu baru berusia lima tahun ketika ayahnya ditangkap. Kala itu mereka masih bermukim di Rakhine. Sang ayah dituduh terlibat gerakan politik yang dimotori Suu Kyi.
"Aku melihatnya, ketika ayahku dinaikan ke atas truk tentara," kenangnya.
Beruntung, ayahnya tak lama mendekam dalam tahanan. Sebulan kemudian dibebaskan. Namun perasaan Wai Wai terus bergejolak jika mengingat peristiwa itu. "Saya tumbuh dengan perasaan takut yang terus membayangi," ujarnya.
"Sebagai seorang anak, saya selalu merasa takut. Di mana-mana ada tentara dan saya kembali teringat ketika mereka merenggut ayah."
Wai Wai berlatar belakang Rohingya, salah satu etnis minoritas yang paling teraniaya di negara itu. Dia menyebut ayahnya selalu dikejar-kejar aparat.
Ketika Wai Wai menginjak usia 10 tahun, keluarganya memutuskan pindah ke ibu kota Myanmar saat itu, Yangon. "Saya melihat ada lebih banyak kebebasan di Yangon," katanya.
"Di Rakhine, mayoritas penduduk beretnis Rohingya. Sedangkan di Yangon lebih beragam dengan bahasa berbeda."
Akan tetapi, mayoritas warga Yangon tidak mengetahui apa yang dialami etnis minoritas, menurut Wai Nai.
Saat di Yangon kehidupan Wai Wai berjalan normal. Sistem pendidikan di negara itu relatif sederhana dengan basis propaganda militer. "Kami bisa bersekolah. Kadang kami harus menyambut dan memberi penghormatan kepada jenderal militer," ceritanya.
Namun situasi kembali berubah saat dia berusia 18 tahun. Ayahnya kembali menjadi sasaran aparat. Semua anggota keluarganya dijebloskan ke dalam penjara. Mereka mendekam di balik jeruji besi selama tujuh tahun
Tapi apa yang membuat Wai Wai dipenjara? Tidak ada, hanya karena dia merupakan anak seorang aktivis.
Sekeluar dari jeruji besi, Wai Wai melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Sekarang dia bekerja sebagai aktivis hak asasi manusia. Memperjuangkan persamaan hak bagi perempuan dan warga Rohingya.
"Dulu Rakhine memang merupakan kawasan miskin tapi kondisinya tidak seburuk seperti sekarang. Kala itu rakyat masih bisa menjalankan usaha," kata Wai. (bersambung/***)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H