Beruntung, ayahnya tak lama mendekam dalam tahanan. Sebulan kemudian dibebaskan. Namun perasaan Wai Wai terus bergejolak jika mengingat peristiwa itu. "Saya tumbuh dengan perasaan takut yang terus membayangi," ujarnya.
"Sebagai seorang anak, saya selalu merasa takut. Di mana-mana ada tentara dan saya kembali teringat ketika mereka merenggut ayah."
Wai Wai berlatar belakang Rohingya, salah satu etnis minoritas yang paling teraniaya di negara itu. Dia menyebut ayahnya selalu dikejar-kejar aparat.
Ketika Wai Wai menginjak usia 10 tahun, keluarganya memutuskan pindah ke ibu kota Myanmar saat itu, Yangon. "Saya melihat ada lebih banyak kebebasan di Yangon," katanya.
"Di Rakhine, mayoritas penduduk beretnis Rohingya. Sedangkan di Yangon lebih beragam dengan bahasa berbeda."
Akan tetapi, mayoritas warga Yangon tidak mengetahui apa yang dialami etnis minoritas, menurut Wai Nai.
Saat di Yangon kehidupan Wai Wai berjalan normal. Sistem pendidikan di negara itu relatif sederhana dengan basis propaganda militer. "Kami bisa bersekolah. Kadang kami harus menyambut dan memberi penghormatan kepada jenderal militer," ceritanya.
Namun situasi kembali berubah saat dia berusia 18 tahun. Ayahnya kembali menjadi sasaran aparat. Semua anggota keluarganya dijebloskan ke dalam penjara. Mereka mendekam di balik jeruji besi selama tujuh tahun
Tapi apa yang membuat Wai Wai dipenjara? Tidak ada, hanya karena dia merupakan anak seorang aktivis.
Sekeluar dari jeruji besi, Wai Wai melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Sekarang dia bekerja sebagai aktivis hak asasi manusia. Memperjuangkan persamaan hak bagi perempuan dan warga Rohingya.
"Dulu Rakhine memang merupakan kawasan miskin tapi kondisinya tidak seburuk seperti sekarang. Kala itu rakyat masih bisa menjalankan usaha," kata Wai. (bersambung/***)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H